Minggu, 01 Februari 2009
Kontroversi di Balik Rangkap Jabatan
Pengunduran diri Darmin Nasution sebagai Komisaris Utama BEI telah mengundang reaksi berbagai pihak, bahwa pejabat negara sebaiknya tidak merangkap jabatan. Hal senada juga menjadi sorotan KPK dan Menteri Keuangan karena dianggap berpotensi terjadinya benturan kepentingan. Berbeda halnya dengan Wakil Presiden dan Menteri BUMN yang tidak memasalahkan rangkap jabatan karena merupakan rangkaian tugas dari pemerintah untuk mengawasi aset negara yang ada di BUMN. Memang harus diakui bahwa boleh-tidaknya rangkap jabatan belum ada aturan yang jelas, bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pun baru berencana mengaturnya. Saat ini masih bergantung pada kesadaran masing-masing individu, ada yang rangkap jabatan menerima gaji dari dua sumber baik sebagai pejabat negara maupun komisaris, ada yang merangkap jabatan tapi menyerahkan satu gajinya ke kas negara seperti yang dilakukan Anggito Abimanyu, ada pula yang langsung mengundurkan diri seperti Darmin Nasution, yang mungkin akan diikuti Sekjen Depkeu yang saat ini menjabat Komisaris Utama Bank Permata.
Ide rangkap jabatan di masa lalu dapat dipahami, mungkin bukan semata untuk menjaga aset negara, melainkan karena pemerintah belum mampu memberikan gaji cukup kepada para pejabatnya terutama eselon I sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan keprofesionalitasannya sehingga penempatan sebagai komisaris di berbagai BUMN merupakan solusi yang akan membantu tambahan pendapatan. Perlu diketahui bahwa sampai saat ini baru Departemen Keuangan saja yang sudah menaikkan gaji pejabat dan pegawainya, tetapi belum diikuti departemen yang lain. Memang pilihan sulit bagi pemerintah di tengah gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi bagi semua pejabat dan PNS-nya, namun belum mampu menggunakan APBN-nya untuk menaikkan gaji pejabat negaranya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
***
Terlepas dari boleh-tidaknya rangkap jabatan, yang menjadi pertanyaan apakah kedua tugas tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan optimal sehingga mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang berkualitas?
Di satu sisi sebagai pejabat negara sangat banyak tugas yang harus diselesaikan mengingat beban dan tanggung jawabnya besar yang diemban terutama setelah era reformasi, tuntutan terhadap reformasi birokrasi sangat diharapkan berbagai pihak, mengingat globalisasi tidak dapat terhindarkan sehingga membutuhkan perubahan birokrasi yang lebih baik. Untuk menjawab perubahan tersebut pemerintah telah mencanangkan reformasi birokrasi agar para birokrat dapat mengubah cara kerjanya agar mampu menjalankan tugas dengan lebih baik. Maklum selama ini kritik publik terhadap birokrasi sangat keras, birokrasi selalu diidentikkan dengan lamban, korup, malas dan tidak profesional, bahkan ada moto yang dikenal masyarakat 'kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah'. Akibatnya berbagai urusan yang berkaitan dengan birokrasi sering menyulitkan segala urusan, dan ujung-ujungnya memerlukan biaya. Akibatnya high cost economy yang menurunkan daya saing juga dituduhkan publik kepada para birokrat.
Untuk menghilangkan kesan buruk tersebut, tugas para pejabat adalah membantu menterinya untuk mencari terobosan-terobosan baru agar mampu mengurangi kesan buruk yang melekat pada para birokrat selama ini. Apalagi tantangan birokrat saat ini dan mendatang adalah semakin kompleks karena modernitas masyarakat yang semakin meningkat, serta keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Hal itu menuntut kemampuan birokrasi melakukan penyesuaian agar tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya (Dwiyanto, 2000). Pendapat lain seperti Weber juga mengatakan birokrasi agar menjadi alat pembangunan yang bekerja secara efisien, rasional profesional dan berorientasi melayani masyarakat. Apalagi di Indonesia masih menunjukkan perilaku pemimpin merupakan contoh atau teladan bagi bawahannya, yang identik pula dengan pengawasan melekat yang harus dilakukan para pejabat eselon I.
***
Tugas rangkap yang biasa diberikan adalah sebagai komisaris di BUMN. Saat ini tugas sebagai komisaris di BUMN juga bukan tugas yang ringan karena tugas komisaris saat ini sangat berbeda dengan masa lalu. Menurut UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dalam pasal-pasalnya mengatakan tugas komisaris di Pasal 108 ayat 1 bahwa dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya baik perseroan, usaha perseroan, dan memberikan nasihat kepada direksi. Pada ayat 4 dinyatakan juga bahwa dewan komisaris merupakan majelis sehingga setiap anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri melainkan bersifat kolegial. Pasal yang lain yang paling menuntut tanggung jawab pribadi adalah Pasal 114 ayat 3 mengatakan anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas. Dan ayat 4 juga menyatakan dewan komisaris mempunyai tanggung jawab renteng termasuk harta kekayaan pribadi. Dalam hal itu tugas dan tanggung jawab komisaris juga menuntut waktu dan pikiran karena turut menanggung bila ada kerugian, atau bila tidak menjalankan tugas dengan baik.
Dengan melihat tugas masing-masing baik sebagai pejabat maupun komisaris di BUMN sangat membutuhkan kerja profesional, dan waktu yang cukup, tampaknya tidak adil bila melaksanakan seperti yang dikatakan wakil presiden bahwa tugas rangkap jabatan tidak masalah asal tidak menerima gaji dobel, padahal tidak hanya tugasnya saja yang rangkap, tetapi melekat tanggung jawab yang juga rangkap. Hal itu justru memberatkan para birokrat yang menerima tugas rangkap. Selama ini belum pernah terjadi, khususnya yang rangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN dengan memperoleh gaji hanya satu sumber. KPK pun mengakui pejabat negara harus dinaikkan gajinya, agar tidak perlu rangkap jabatan.
Untuk mengatasi hal ini memang diperlukan ketegasan dari pemerintah sendiri untuk membolehkan atau tidaknya pejabat rangkap jabatan, terutama terkait sebagai komisaris di BUMN maupun swasta. Karena tampak tidak elok apabila antarpejabat negara membuat pernyataan yang berbeda satu dengan lainnya terkait dengan rangkap jabatan.
Apabila pemerintah memang serius melakukan reformasi birokrasi, tentu saja sangat membutuhkan konsentrasi para pejabat dalam melakukan berbagai perubahan, seperti yang ditulis Osborne bahwa reformasi birokrasi dapat dilakukan asalkan ada perubahan paradigma dari sistem birokrasi menjadi sistem pemerintahan entrepreuner seperti pada buku New Public Management yang dikenal dengan konsep reinventing government mempunyai 10 prinsip, yaitu (1) pemerintah sebagai katalis yang fokus pada pemberian pengarahan sehingga tidak perlu melakukan sesuatu yang telah mampu dilakukan oleh swasta; (2) pemerintah milik masyarakat sehingga perlu memberdayakan masyarakat bukan sekadar melayani; (3) pemerintah yang kompetitif yang mampu menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan; (4) pemerintah yang digerakkan misi, yaitu mengubah organisasi yang digerakkan peraturan menjadi organisasi yang digerakkan misi; (5) pemerintah yang berorientasi pada hasil, yaitu bentuk insentif didasarkan pada standar kinerja; (6) pemerintah berorientasi pada pelanggan, yaitu memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi; (7) pemerintahan wirausaha yaitu pemerintah yang mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekadar membelanjakan; (8) pemerintah antisipatif yaitu berupaya mencegah masalah; (9) pemerintah desentralisasi yaitu hierarki menuju partisipatif dan tim kerja baik dengan masyarakat maupun LSM; (10) pemerintah berorientasi pada sistem insentif, yaitu tidak memerintah, tetapi menggunakan insentif agar birokrat tidak melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat.
Untuk melakukan hal tersebut para pejabat seharusnya menjadi motor penggeraknya. Namun di sisi lain, jangan hanya menambah tugas dan tanggung jawabnya, tetapi menurut Henry Fayol masalah pengupah yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya juga perlu diberikan. Sehingga pemerintah perlu memikirkan untuk memberikan kompensasi yang cukup. Masyarakat mungkin tidak akan keberatan apabila anggaran negara sebagian untuk meningkatkan gaji pejabat negara maupun pegawai negeri sipil, asalkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan dapat terpenuhi, serta berbagai kebijakan yang dikeluarkan selalu mengarah pada kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian tidak ada lagi alasan rangkap jabatan, kalaupun pemerintah memerlukan orang untuk menjaga aset negara di BUMN, toh bisa menunjuk orang kepercayaan yang memenuhi syarat yang dibutuhkan termasuk profesionalitas, yang tidak harus pejabat.
'Untuk melakukan reformasi birokrasi para pejabat seharusnya menjadi motor penggeraknya. Namun di sisi lain, jangan hanya menambah tugas dan tanggung jawabnya, tanpa memberikan kompensasi yang cukup.' (Media Indonesia, Senin, 16 Juni 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar