Empat paket kebijakan ekonomi - sektor energi, moneter, fiskal, dan bidang ekonomi lain - ternyata gagal menenangkan pasar. Keempat paket tersebut tak mampu memberikan kepastian pada dunia usaha. Apalagi target atau indikator terukur dalam jangka pendek tak ikut dicantumkan.
Terang saja, kebijakan pemerintah ini tak mengembalikan kepercayaan pasar yang terus bimbang akibat nilai tukar rupiah terus terdepresi dan harga minyak mentah dunia kian meroket. Pada prinsipnya, pasar menginginkan kejelasan: kapan dan berapa besaran kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga diperoleh kepastian dalam jangka pendek.
Terlepas dari itu, tekanan defisit anggaran - akibat lonjakan harga minyak dunia yang menembus level 70 dolar AS per barel - harus segera diselesaikan. Dalam kondisi sekarang, tidak mungkin lagi anggaran negara memberi subsidi BBM. Apalagi 45 persen kebutuhan BBM dalam negeri masih mengandalkan impor.
Dari sisi moneter, kenaikan BI Rate dari 8,5 persen menjadi 10,5 persen mengancam dunia usaha - karena akan direspon bank-bank dengan menaikkan suku bunga kredit. Jadi, kebijakan ketat Bank Indonesia tanpa kombinasi kebijakan pemerintah yang komprehensif dan solid akan semakin memukul sektor riil. Sementara dari sisi fiskal, untuk mengurangi tekanan APBN, pemerintah masih mengandalkan privatisasi BUMN, tambahan utang luar negeri, dan penerimaan pajak yang jelas membutuhkan waktu lama. Padahal rakyat berharap solusi yang bersifat segera.
Presiden Yudhoyono memang telah mendorong investasi - antara lain dengan mempercepat pengajuan RUU Investasi dan RUU Perpajakan ke DPR. Tapi tawaran ini juga tidak bisa dilaksanakan segera karena memerlukan proses penggodokan di DPR.
Solusi konkret untuk memacu investasi, sebenarnya, adalah ketegasan pemerintah menangani pungutan liar dan menjamin ketersediaan energi, khususnya bagi industri padat karya.
Jadi, paket kebijakan pemerintah tersebut tidak fokus, dan tidak memberikan solusi konkret. Karena itu, hampir bisa dipastikan ekonomi Indonesia ke depan penuh ketidakpastian - bahkan akan diwarnai gejolak. Untuk itu, harus ada langkah strategis agar keadaan tidak memburuk.
Wacana perombakan kabinet sah-sah saja, karena kebijakan pemerintah memang tidak menjanjikan. Namun yang terpenting, bagaimana pemerintah membuat kebijakan yang komprehensif, terkoordinasi, dan antisipatif. Hindari kebijakan "setengah hati" yang kurang terarah. Kebijakan seperti ini mengesankan bahwa Presiden Yudhoyono tidak independen dalam menentukan putusan - karena terikat kontrak dengan partai-partai politik.***(Sijorimandiri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar