Kamis, 29 Januari 2009

Lahan Para Pemikir yang Semakin Terkikis


Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar tentang lembaga penelitian seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef), Center for Information and Development Studies (Cides)? Pastilah langsung terbayang sejumlah peneliti berotak encer yang menghasilkan kajian mendalam tentang suatu hal.

Para peneliti dari lembaga-lembaga tadi, seperti Aviliani, Faisal Basri, Chatib Basri, atau Indra Piliang, bisa jadi sudah akrab dengan kuping kita.

Tapi, bagaimana lembaga penelitian menjalani bisnis mereka? Belakangan, hal ini menjadi heboh karena dipicu paparan peneliti Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan Universitas Indonesia, atas permintaan Asian Agri, untuk mengkaji berita Majalah Tempo.

Tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan antara lembaga penelitian seperti ini memang cukup sengit. “Belakangan ini lembaga penelitian sudah banyak dan lebih segmented,” kata Pande Radja Silalahi, anggota Badan Supervisi CSIS Foundation.

Adapun Aviliani, ekonom Indef yang juga mengurus lembaga tersebut, bilang bahwa banyak lembaga penelitian yang didirikan dengan orientasi bisnis. “Tujuannya memang cari uang. Beda dengan Indef yang tujuan awalnya untuk advokasi,” katanya.

Itu sebabnya, Aviliani mengaku bahwa Indef tidak bisa sembarang mencari proyek karena terbentur dengan idealisme lembaga. “Kalau dibayar, kan kami harus mengikuti kemauan si pemberi dana,” tukasnya lagi. Alhasil, menurut Aviliani, persaingan bisnis lembaga think tank sekarang tampak sengit lantaran mereka berebut sumber dana.

Aviliani bilang, idealisme yang mereka anut telah membatasi pencarian proyek. Jika pun harus mencari proyek untuk bisa bertahan, kata dia, mereka akan lebih dulu menjajaki apakah perusahaan itu punya maksud tertentu. “Kemauan mereka benar enggak di mata publik,” katanya.

Kena tulah keppres

Sedikit berbeda dengan Indef, menurut Chatib Basri, Direktur LPEM FE Universitas Indonesia, lembaga mereka banyak kena tulah Keppres Nomor 80/2003 tentang tender pemerintah. Salah satu klausulnya memang mengatur bahwa penyedia barang atau jasa bukan dari kalangan pegawai negeri atau BUMN dan badan hukum milik negara (BHMN). Dampaknya, LPEM yang berinduk pada UI, yang berstatus BHMN itu, tidak bisa ikut dalam tender proyek pemerintah. “Ada yang bilang, karena banyak orang UI di pemerintahan jadi proyek kami lancar. Padahal, justru enggak seperti itu!” ungkap Chatib lagi.

Itu sebabnya, sejak aturan tersebut diterapkan, LPEM UI tidak pernah menggarap proyek dari pemerintah. “Bukan kami enggak mau proyeknya, tapi prosesnya kan repot,” kata Dede, panggilan akrab Chatib.

Banting setir dari proyek pemerintah, LPEM UI banyak ikut tender dari lembaga nonpemerintah. “Pangsa pasar terbesar kami adalah institusi internasional atau perusahaan swasta,” ujar Dede.

Konsekuensinya, tutur Dede, mereka harus mengubah penyampaian hasil penelitian. “Kalau dulu bisa bikin kayak skripsi, sekarang klien minta yang lebih bisa diaplikasikan,” katanya.

Selain ikut bersaing berebut proyek, LPEM UI juga punya kerjasama akademik dengan beberapa lembaga. “Misalnya, kami punya kerjasama dengan National Bureau of Economic Research di Amerika yang sampai kini masih berlangsung,” kata Dede.

Sampai kini LPEM UI masih punya proyek penelitian. Sayang, Dede enggan menyebut nilai proyek dan margin yang mereka ambil dari situ. “Kami punya patokan dari rate standar peneliti kami. Itu enggak bisa diubah,” ujar Dede.

Hanya, mereka tidak pernah memberi patokan harga proyek, katakanlah Rp 1 miliar per proyek. “Rp 1 miliar itu gede kalau untuk penelitian. Pokoknya jangan sampai enggak cukup buat ongkos. Gitu aja,” kilah Dede yang dibantu 135 orang untuk menggerakkan LPEM UI.

Adapun Aviliani mengatakan bahwa saban tahun Indef hanya mengerjakan minimal empat proyek penelitian. Duit dari proyek itu, menurut Aviliani, cukup untuk menutup ongkos karyawan administrasi Indef. “Kalau peneliti dibayar per proyek,” katanya.

Aviliani juga menolak mengungkap margin yang bisa mereka peroleh dari proyek penelitian ini. “Laba kami sedikit sekali dibanding dengan lembaga yang memang mencari untung,” kilahnya.

Pande tidak bisa memastikan berapa proyek penelitian yang digarap CSIS per tahun. “Tiap proyek punya jangka waktu sendiri,” katanya. Nilai proyeknya pun beragam, menurut Pande, dari hitungan ratusan juta sampai miliaran rupiah untuk satu proyek saja.

Mengakali pembayaran

Berapa pun nilai proyeknya, Pande bilang, harus bisa menutup ongkos penelitian. Tapi, “Peneliti memang harus concern pada penelitiannya, tanpa campur tangan pihak lain,” katanya. Saat ini, CSIS memiliki 120 karyawan dan sekitar 50 peneliti.

Selain menggaji karyawan, menurut Pande, pihaknya juga mengirim para peneliti untuk sekolah lagi di luar negeri. “Dananya dari jaringan kami,” katanya.

Sama seperti jenis bisnis lain, lembaga penelitian juga sering mengalami kesulitan dalam hal pembayaran. Dede bilang, kerap terjadi, antara pihaknya dan klien sudah sepakat tanggal pembayaran. “Tapi, kalau masih enggak sepakat dengan klien, ya, tanggalnya bisa mundur. Proses pembayaran jadi panjang,” ujarnya. Meskipun, kata Dede, sampai kini belum pernah ada klien yang mengemplang pada LPEM UI.

Hal serupa dikatakan oleh Aviliani. “Sulitnya, untuk proyek begini, pembayarannya selalu dalam termin,” ujarnya. Buntutnya, mereka harus pintar mengatur duit yang ada untuk operasional.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum mba Avi,apa kabar?
    saya perlu sekali segera bertemu dengan mba Avi,pertama mengenai usaha saya yang kedua mengenai kemungkinan adanya penyimpangan prediksi dari para analis ekonomi indonesia,kalau aplikasi saya untuk bertemu dengan RI 1,diterima.saya perlu konsul dengan mba Avi.
    mohon kabar secepatnya.
    Trims

    email : budissayogo@yahoo.com

    BalasHapus