Jumat, 30 Januari 2009

Menimbang Nasib BUMN PSO



Masyarakat belum banyak yang mengetahui bahwa sesungguhnya terdapat beberapa barang dan jasa yang masih disubsidi pemerintah. Lembaga yang memberikan pelayanan dengan subsidi ini adalah BUMN yang ditunjuk pemerintah, yaitu PT Askes, PT Pelni, PT Angkasa Pura, Perum Damri, Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD), PT Pelindo, PT Pusri, PT TVRI, PT Merpati, PT ASDP, PT PLN, PT Kereta Api, PT Pos Indonesia, PT Sang Hyang Seri, PT Jasa Tirta, PT Pertamina, Perum Bulog, dan Perum Perumnas.
Dasar pemberian subsidi adalah UUD 1945, khususnya Pasal 34 ayat 3, yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak bagi masyarakat. Pasal ini sebagai penawar mekanisme pasar dalam kehidupan ekonomi, sehingga diharapkan pengaturan ekonomi bisa lebih merata dan tumbuh tinggi.
Dalam implementasinya, UUD 1945 didukung UU Nomor 19/2003 tentang BUMN. Pasal 66 UU Nomor 19/2003 menyatakan bahwa bagi BUMN yang mendapat tugas mengemban kewajiban pelayanan umum (public service obligation/PSO), bila menurut kajian finansial tidak fisibel, pemerintah wajib memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut -- termasuk margin keuntungan yang diharapkan.
UU Nomor 19/2003 diperjelas dengan PP Nomor 45/2005 pasal 65. Di situ dinyatakan bahwa fungsi kemanfaatan umum salah satu penugasan yang diberikan pemerintah dalam rangka PSO adalah menyediakan barang dan jasa tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat luas.
Untuk melayani kebutuhan masyarakat, Kementerian BUMN telah menetapkan 19 BUMN sebagai badan usaha yang membawa misi PSO. Meski disubsidi untuk menjaga kelanggengan usaha, BUMN PSO tetap wajib dikelola dengan baik berdasarkan prinsip korporasi atau bisnis yang sehat dan bertanggung jawab (GCG). Dengan demikian, penerapan profesionalisme, system reward and punishment seperti di perusahaan-perusahaan umumnya harus dijalankan.
Tetapi bila kita amati, kinerja BUMN yang mengemban PSO belum semuanya baik. Bahkan citra yang berkembang di masyarakat, BUMN PSO identik dengan inefisiensi dan sarang korupsi oleh pengelola maupun politisi dan birokrat. Apalagi banyak direksi BUMN yang berurusan dengan hukum tersangkut kasus korupsi.
Citra buram itu sangat wajar karena selama ini masyarakat tidak memperoleh gambaran transparan mengenai harga pokok sesungguhnya barang dan jasa yang dihasilkan BUMN PSO ini. Tapi dengan itu pula, masyarakat tidak peduli dengan besarnya subsidi yang ditanggung negara. Dalam kaitan ini, masyarakat beranggapan bahwa mereka berhak menikmati subsidi yang melekat pada barang dan jasa BUMN PSO karena mereka sudah membayar pajak. Padahal, bila diteropong, dana sebesar Rp 100 triliun hanya untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Sedangkan untuk kesehatan, pendidikan, dan barang publik lain hanya mendapat subsidi relatif rendah.
Memang tidak mudah mengelola BUMN PSO karena relatif rawan moral hazard, baik dari sisi pengguna barang dan jasa maupun perilaku kurang kreatif dan inovatif pengelola usaha. Di sisi pengelola usaha, mereka kurang berhati-hati sehingga terjadi inefisiensi biaya operasional. Sementara di sisi pengguna barang dan jasa, mereka juga kurang hemat dalam memanfaatkan subsidi.
Misalnya saja PLN. Karena masih disubsidi, pengguna listrik berhemat-hemat cenderung rendah. Padahal subsidi listrik dalam APBN mencapai sekitar Rp 40 triliun. Dalam konteks ini, pengelola PLN beranggapan bahwa karena selisih harga jual dan harga pokok listrik disubsidi, kemungkinan besar pengeluaran perusahaan menjadi kurang efisien.
Kondisi lain: BUMN yang memperoleh subsidi cenderung menjual barang dengan tidak tepat sasaran, sehingga mereka yang menikmati subsidi adalah kalangan menengah atas. Misalnya subsidi perumahan rakyat (perumnas). Mereka yang menikmati subsidi seharusnya masyarakat berpenghasilan rendah. Namun kenyataannya, subsidi perumnas justru dinikmati kalangan menengah atas. Walhasil, subsidi perumnas tidak tepat sasaran.
PT Kereta Api (PTKA) bisa menjadi contoh BUMN yang tidak kreatif. Karena ongkos pesawat sekarang ini relatif murah, pengguna jasa kereta api banyak beralih menjadi penumpang pesawat. Terkait dengan itu, PTKA seharusnya melakukan perubahan. Jika semula orientasi usaha mereka adalah penumpang luar kota, seharusnya sekarang mereka berubah menjadi penyelenggara jasa transportasi antarkota.
Mengamati kondisi APBN yang semakin sulit menyediakan subsidi, diperlukan prioritas BUMN PSO yang memperoleh subsidi. Untuk itu perlu beberapa langkah. Pertama, repositioning BUMN PSO dengan memperhitungkan multiplier effect ekonomi bagi masyarakat. Bila multiplier effect bagi masyarakat ternyata rendah, tidak perlu BUMN tersebut menjalankan fungsi PSO bersubsidi.
Kedua, bila berbentuk perseroan terbatas (PT), BUMN PSO harus menghasilkan profit atau keuntungan. Karena itu perlu dibentuk pusat unit bisnis (CBU) yang komersial dan CBU yang tidak komersial. Dengan demikian, SBU komersial dapat mensubsidi SBU yang tidak komersial. Dalam kaitan ini, pihak pengelola dituntut inovatif, kreatif, serta memiliki jiwa wirausaha
Ketiga, bila PSO dalam bentuk atau jenis usaha lain, lebih baik itu dijadikan cost centre. Dengan demikian, fungsi BUMN bersangkutan lebih jelas: hanya sosial.
Liat saja BUMN PSO seperti PPD yang mengalami kesulitan likuiditas dan menimbulkan berbagai masalah. Itu bisa jadi diikuti oleh BUMN PSO lain. Karena itu, repositioning BUMN harus dilakukan lewat pembentukan induk perusahaan (holding) berdasarkan sektor. Misalnya sektor transportasi darat, yang terdiri dari Perum Damri, PPD, dan PTKA. Lalu holding transportasi laut, yang terdiri dari PT Pelni, PT Pelindo, dan sebagainya.
Dengan holding berdasarkan konsep hulu-hilir maupun produk sejenis, nasib BUMN PSO dapat diselamatkan. Dengan itu pula, beban APBN bisa dikurangi. Yang penting, keberadaan BUMN PSO tetap mampu dipertahankan dan bermanfaat bagi masyarakat.*** (Suara Karya, 16 Agustus 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar