Jumat, 30 Januari 2009
Kredibilitas BI vs Pemberantasan Korupsi
Bank Indonesia (BI) telah berubah status sejak disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang independensi BI. Undang- undang tersebut mengatur dan memberi kewenangan BI untuk menjadi lembaga yang independen, terutama dalam mengeluarkan kebijakan untuk menjaga stabilitas moneter, nilai tukar maupun pengawasan perbankan.
Implementasi UU tersebut sekaligus untuk menutup peristiwa buruk dalam sejarah BI, terutama setelah muncul kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan banyak pejabat BI. Setelah BI menjadi lembaga independen, kredibilitas BI mulai pulih karena kebijakan-kebijakan menjaga stabilitas moneter dan nilai tukar dapat berjalan dengan baik.
Kondisi itu tecermin dengan stabilitas nilai tukar yang terjaga dari waktu ke waktu, terutama nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang bergerak relatif stabil. Demikian pula halnya dengan kebijakan di bidang perbankan yang lebih menekankan prinsip kehatihatian. Kondisi tersebut dapat tecermin dari kepatuhan bank-bank dalam menjalankan peraturan BI sehingga kinerja perbankan mengalami peningkatan yang jauh lebih baik.
Bahkan harus diakui keadaan tersebut mampu meningkatkan nilai sahamsaham perbankan di pasar. Dalam pengawasan bank pun BI telah mengubah sistemnya jauh lebih baik, bahkan sebagian telah mengikuti standar internasional.Hal ini dapat terlihat dari semakin berkurangnya kasus-kasus di sektor perbankan, khususnya terkait dengan penyaluran kredit maupun penyalahgunaan dana perbankan.
Hal lain yang juga menunjukkan adanya perbaikan adalah semakin banyaknya investor asing yang tertarik untuk mengambil alih kepemilikan bank nasional. Setelah tujuh tahun perjalanan BI menjadi independen,tidak ada masalah berarti yang mengganggu kredibilitas BI. Bahkan di masa kepemimpinan Burhanuddin Abdullah berbagai kebijakan yang dikeluarkan diterima pelaku pasar sehingga tidak banyak gejolak yang terjadi.
Akan tetapi, menjelang selesainya masa tugas Gubernur BI, tiba-tiba semua pihak dikejutkan dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan kasus aliran dana BI melalui Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar.Menurut catatan,aliran dana tersebut digunakan untuk membantu proses hukum mantan pejabat BI yang terlibat kasus BLBI dan sebagian lagi digunakan untuk anggota DPR berkaitan dengan biaya proses pengesahan UU Independensi BI.
Memang cukup menarik disimak karena terkuaknya kasus tersebut menjelang pencalonan Gubernur BI baru. Pertanyaannya, mengapa terkuaknya hal tersebut bukan pada saat indikasi telah diketahui, tetapi secara bersamaan dan berkaitan dengan peristiwaperistiwa politik penting lain? Sejak mencuatnya kasus tersebut, kredibilitas BI mulai terganggu kembali walaupun secara kinerja mungkin tidak bisa diklaim memburuk, hanya secara institusi tampaknya cukup terganggu.
Hal tersebut tecermin pada saat pencalonan Gubernur BI baru sebagai pengganti Burhanudin Abdullah, tidak satu pun calon berasal dari dalam, termasuk deputi gubernurnya yang tentu lebih memiliki kompetensi. Seolah-olah orang-orang di dalam institusi tersebut tidak lagi kredibel untuk menjadi orang nomor satu di BI.
*** Menilik permasalahan tersebut, memang KPK harus berhati-hati di dalam menangani kasus-kasus korupsi karena jangan sampai kredibilitas dari institusi negara terganggu yang tentu akan memengaruhi kinerja instansi tersebut. Dalam hal ini penulis sangat mendukung pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK maupun kejaksaan karena dalam jangka menengah panjang akan mampu memperbaiki kinerja ekonomi,karena persoalan korupsi yang terjadi pada tingkat birokrasi, legislatif maupun yudikatif dapat dikurangi sehingga masyarakat maupun dunia usaha diuntungkan.
Harus diakui, selama puluhan tahun belum ada kekuatan pemberantasan korupsi sekuat KPK. Akan tetapi dalam melakukan pemberantasan harus mempertimbangkan dampaknya bagi institusi tersebut, terutama terkait dengan aspek kebijakan yang diambil. Di sisi lain, yang perlu disadari,masa lalu di negara ini tidak lepas dari masalah korupsi yang membudaya s e h i n g g a ada kemungkinan apa pun instansi yang disentuh dipastikan ada masalah korupsi.
Masalahnya apakah kita hanya berkutat pada masa lalu tanpa ada batas waktu? Korupsi akan mampu dikurangi apabila sistem, mekanisme kerja maupun etika dapat dibangun lebih baik oleh negara ini, baik di tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif maupun masyarakat dan dunia usaha.
Selain itu, reward bagi mereka juga perlu dijadikan prasyarat karena tidak mungkin pemberantasan korupsi berhasil bila tidak disertai berbagai prasyarat sehingga KPK perlu lebih memikirkan langkahlangkah pencegahan lebih dini dibandingkan hanya menangkap dan menjadikan tersangka akibat dosadosa masa lalu.
Selain itu, tampaknya KPK akan turut campur tangan dalam proses keputusan di tingkat eksekutif karena ada wacana untuk turut rapat anggaran bersama DPR.Seolah-olah tidak ada lagi unsur kepercayaan kepada pemerintah maupun lembaga legislatif.
Tampaknya krisis kepercayaan bukan hanya terjadi pada masyarakat, tetapi antarpejabat negara pun sudah terjadi. Pertanyaan mendasar, akan dibawa ke manakah negara ini apalagi semua stakeholder tidak saling percaya? (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar