Minggu, 01 Februari 2009
Mengevaluasi Konversi Gas
Sejak masa pemerintah Orde Baru kebijakan untuk memberikan subsidi pada bahan bakar minyak dan gas (migas) bagi masyarakat sudah dilakukan.
Pengambilan kebijakan pada saat itu dapat dimengerti karena produksi migas Indonesia pada era 1980-an (oil boom) melampaui kebutuhan domestik sehingga pendapatan dari sektor migas pun melebihi pendapatan sektor nonmigas. Namun pada era 2000-an kondisi telah berubah,produksi migas telah jauh di bawah kebutuhannya sehingga Indonesia yang dulunya sebagai negara net eksportir, menjadi net importir.
Walaupun demikian, pemerintah sesudah era Orde Baru terus memberikan subsidi migas karena kondisi masyarakat kelas bawah belum se-penuhnya recovered.Hal itu tecermin pada angka kemiskinan yang terus bertengger di angka double digit, terutama setelah krisis ekonomi 1997.
Memang, tidak mudah bagi pemerintah melepas subsidi migas karena masalah energi memang bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi lebih kental dengan persoalan politik karena dapat memengaruhi kinerja pemerintah. Karena itu,walaupun di dalam aturan tahun 2007 seharusnya tidak ada lagi subsidi untuk minyak, tidak mudah bagi pemerintah untuk melaksanakannya.
Akhirnya terbitlah keputusan presiden (keppres) yang tetap memberikan subsidi minyak, terutama untuk masyarakat kelas bawah. Di masa pemerintah SBY-JK memang harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi telah mengalami kenaikan dua kali.Kebijakan tersebut bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah.
Apalagi kenaikan kedua dilakukan ketika daya beli belum membaik dan menjelang pemilu.Tentu saja sangat tidak populis.Namun pilihan untuk mengurangi subsidi dilakukan pemerintah karena harga minyak dunia telah menembus USD100 per barel, jauh di bawah asumsi APBN.
Apabila subsidi tidak dikurangi, hal itu akan berdampak pada kondisi keuangan negara karena bisa jadi subsidi BBM menyerap 30% APBN sehingga ruang gerak anggaran untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dapat terhambat.Di satu sisi dengan adanya perbedaan (disparitas) harga yang cukup besar antara BBM bersubsidi dan yang tidak mengakibatkan semakin besarnya perilaku moral hazard dari penggunaan minyak bersubsidi bukan saja oleh masyarakat kelas bawah, tetapi juga masyarakat kelas atas maupun industri.
Penyelundupan besar-besaran kian marak. Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga,selalu timbul pro dan kontra.Yang pro memang dapat memahami kondisi keuangan negara karena subsidi tidak tepat sasaran sehingga subsidi yang besar perlu dialihkan untuk kepentingan yang lebih besar bagi masyarakat.
Sedangkan yang kontra mengatakan bahwa kondisi daya beli masyarakat masih buruk sehingga akan menambah kemiskinan. Bagi mereka Indonesia memiliki sumber daya migas yang luar biasa tentu harus mampu menentukan harga domestik sendiri tanpa dipengaruhi harga minyak dunia,produksi sebaiknya untuk domestik saja.Selain itu, persepsi tentang tidak efisiennya pengelolaan migas, kerja sama yang tidak menguntungkan dengan negara lain dan sebagainya ikut mengemuka.
Gap
Selain menaikkan harga BBM, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan baru,yaitu melakukan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas, khususnya bagi rumah tangga yang biasa menggunakan kompor minyak tanah.Pemerintah melalui Pertamina memberi tabung gas dengan ukuran 3 kg serta kompor gratis kepada masyarakat kelas bawah.
Kebijakan ini dilakukan untuk menyiasati harga BBM yang terus melonjak yang bisa berdampak pada melambungnya subsidi minyak tanah. Dengan konversi diharapkan subsidi akan dapat dikurangi karena subsidi gas (elpiji) jauh lebih rendah. Pada awalnya pelaksanaan konversi juga menimbulkan berbagai penolakan baik dari masyarakat, DPR maupun pihak-pihak lain.
Alasannya program konversi ini kurang sosialisasi, jumlahnya tidak cukup,minyak tanah sudah membudaya di masyarakat, dan berbagai keberatan lain.Walaupun mengalami berbagai tekanan, pemerintah terus melakukan programnya untuk melakukan konversi. Setelah konversi dilakukan terusmenerus, akhirnya sebagian besar masyarakat mulai menerima keputusan pemerintah, khususnya di beberapa daerah yang menjadi target.
Untuk selanjutnya secara bertahap bahan bakar gas akan terus diupayakan merata ke seluruh Indonesia paling lambat tahun 2010.Konversi ini menurut pemerintah akan lebih menghemat APBN karena subsidi elpiji jauh lebih rendah dari subsidi BBM. Setelah konversi minyak tanah ke elpiji dilaksanakan,ternyata bila melihat struktur produksi dan kebutuhan masih terjadi gap.
Produksi elpiji domestik lebih rendah dari kebutuhan di dalam negeri. Saat ini konsumsi elpiji dalam negeri telah menembus level 1,080 juta metrik ton (dengan perincian 918.000 metrik ton untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan 162.000 metrik ton untuk industri),setiap tahunnya.Produksinya 82% berasal dari kilang minyak Pertamina,sedangkan kekurangannya sekitar 15–16% berasal dari para kontraktor production sharing (KPS) yang ada di dalam negeri.
Posisi tersebut merupakan gambaran saat konversi belum sepenuhnya dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia karena baru menjangkau Jabodetabek,Bandung,Surabaya,Bali, Yogyakarta, Semarang, dan Cirebon. Karena itu, bila semua daerah menggunakan gas, permintaan akan lebih besar dari yang saat ini ada. Itu berarti akan terjadi gap yang semakin besar antara ketersediaan domestik dengan permintaan yang semakin tinggi. Di sisi lain kelolaan Pertamina belum bertambah, justru yang lebih banyak berproduksi adalah KPS.
Kenaikan Harga dan Kelangkaan Gas
Fenomena menarik mulai terjadi. Ternyata harga gas dunia juga mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan harga BBM,tetapi subsidi gas tetap. Hal ini mengakibatkan Pertamina secara bertahap menaikkan harga. Terakhir kenaikan dilakukan 25 Agustus untuk berat 3 kg dan 12 kg sehingga terdapat disparitas harga antara elpiji dengan berat 3 kg,12 kg dan 50 kg.Akibat terjadinya disparitas ini, mulai terjadi kelangkaan di berbagai tempat.
Kondisi tersebut mengakibatkan timbulnya perilaku moral hazard karena berbagai pihak tentu mencari barang yang lebih murah sehingga diperkirakan rumah tangga kelas menengah membeli gas tabung yang 3 kg, demikian pula halnya industri-industri kecil. Sementara industri menengah atau besar diduga memanfaatkan tabung gas 12 kg.Akibatnya terjadi kelangkaan gas di berbagai tempat.
Kondisi ini mengakibatkan harga justru terkerek di atas yang ditetapkan Pertamina. Selain itu kehidupan rumah tangga kelas bawah juga terganggu, karena mereka harus antre, bahkan mengeluarkan dana yang lebih besar. Dari kondisi makronya, tentu dampaknya terhadap inflasi yang kontribusinya semakin tinggi.
Keluhan masyarakat saat ini adalah selain kelangkaan, harga yang terus naik, sehingga mereka merasa dikecewakan, karena konversi baru saja dilakukan. Ke depan memang sangat dibutuhkan kebijakan energi yang lebih baik, mengingat harga gas elpiji pun akan terus mengikuti naik turunnya harga minyak.Oleh karena itu dengan cadangan gas yang cukup banyak di Indonesia, perlu ada upaya mempercepat investasi gas, dengan memberikan berbagai insentif.
Akan tetapi dalam perjanjian tersebut perlu adanya ketentuan domestic market obligation (DMO) sehingga persediaan dalam negeri dapat terpenuhi. Adapun dari sisi harga bila Pertamina akan tetap pada pendirian penerapan disparitas harga,perlu penggunaan kartu kendali sehingga mengurangi prilaku moral hazard serta melibatkan pemerintah daerah untuk melakukan monitoring.(*)(Koran SIndo, 10 September 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar