INILAH.COM, Jakarta - Seretnya likuiditas membuat perbankan nasional harus bersaing dengan pemerintah. Dibukanya sukuk ritel dan proyek-proyek pemerintah yang memiliki aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) nol menjadi problem tersendiri bagi bank.
Dampaknya, kebijakan untuk mengoreksi suku bunga BI rate dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dinilai tidak cukup efektif untuk menurunkan suku bunga perbankan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang bermuara pada problem likuiditas yang dimiliki perbankan khususnya bank menengah kecil.
Perlu langkah konkret dari pemerintah. Berikut kutipan dari wawancara dengan Komisaris Independen BRI Aviliani, di Jakarta, baru-baru ini.
Bagaimana efektivitas kebijakan koreksi BI Rate untuk menurunkan bunga kredit perbankan?
Memang sebenarnya sejak November tahun lalu, BI telah mengoreksi suku bunga BI rate sebesar 100 basis poin. Namun kebijakan koreksi bunga acuan saja belum cukup, karena saat ini problemnya adalah masalah likuiditas.
Bank-bank terutama skala kecil mengenai masih kesulitan menghimpun dana pihak ketiga dari masyarakat, akhirnya mereka ramai-ramai menaikkan suku bunga deposito untuk menarik minat masyarakat.
Kalau suku bunga depositonya tinggi, bagaimana bisa perbankan memberikan bunga kredit yang murah. Kebijakan BI untuk melonggarkan Giro Wajib Minimum (GWM) juga tidak banyak berpengaruh bagi bank dengan skala kecil menengah ini.
Mengapa ada problem likuiditas yang dimiliki oleh perbankan?
Perbankan sangat bertumpu pada dana pihak ketiga untuk kemudian bisa melakukan pembiayaan. Nah saat ini pemerintah juga mengeluarkan sukuk dengan bunga 12%. Ini seharusnya tidak diperuntukkan oleh masyarakat langsung. Karena akibatnya, membuat persaingan bank-bank untuk meraih dana pihak ketiga semakin ketat.
Mereka akhirnya bersaing dengan pemerintah yang mengeluarkan sukuk. Padahal dengan kondisi kemarin Bank Century, tentu kalau bisa memilih mereka akan memilih pemerintah dong.
Sebenarnya berapa posisi persaingan suku bunga kredit yang ditawarkan oleh perbankan?
Dengan posisi 14% sebenarnya berbagai langkah yang dilakukan oleh perbankan idealnya diantisipasi secara cermat. Untuk suku bunga simpanan tentunya mereka mengacu pada penjaminan yang dilakukan oleh LPS.
Mengenai bank-bank dengan skala besar apa problemnya?
Untuk bank-bank dengan skala besar lebih karena disebabkan kredit-kredit pada lembaga pemerintah seperti PLN, PDAM, dan proyek-proyek pemerintah lainnya yang dijamin oleh pemerintah. Pembiayaan terhadap proyek-proyek inikan ATMR-nya kan nol.
Kalau disuruh milih daripada meyalurkan pada bank skala kecil menengah atau proyek-proyek pemerintah ini, tentu bank besar akan lebih memilih proyek pemerintah yang ATMR-nya nol.
Bagaimana dengan kondisi pembiayaan mikro di tingkat BPR?
Bank-bank besar juga mulai enggan untuk masuk disektor pembiayaan BPR, karena kasus yang terjadi di Lampung. (Kasus ini terkait dengan BPR Tripanca Lampung yang membawa kabur dana senilai Rp 4 triliun). Hal-hal seperti ini mencoreng citra BPR dimasyarakat. Akhirnya bank-bank besar juga mulai waspada menilat kinerja BPR ini. [E1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar