Setelah pidato kenegaraan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat kritikan dari para ekonom maupun berbagai kalangan, khususnya terkait dengan data kemiskinan yang dianggap menggunakan data yang kurang valid. Karena data yang dipakai sebelum terjadi kenaikan harga BBM tahun 2005, sehingga dalam pidato tersebut disebutkan bahwa angka kemiskinan menurun. Padahal dari perhitungan para ekonom, kemiskinan justru naik cukup tinggi.
Kondisi itu dalam beberapa waktu cukup banyak dibahas berbagai kalangan di berbagai media. Bahkan Presiden sempat mengundang Kepala BPS dalam sidang kabinet. Presiden meminta BPS mengumumkan kepada publik tentang angka kemiskinan yang sebenarnya.
Ketika kenaikan harga BBM akan diumumkan, pemerintah telah memiliki program pengentasan kemiskinan berupa bantuan langsung tunai (BLT). Tetapi program tersebut belum mampu terbukti efektif menurunkan kemiskinan.
Apalagi, dalam implementasinya, dana BLT yang diterima rakyat miskin habis untuk konsumsi sesaat dan segera miskin lagi. Hal tersebut karena seolah masyarakat diberi ikan, bukan kail.
Melihat tingginya angka kemiskinan yang diumumkan BPS, pemerintah merespons dengan kebijakan pengentasan kemiskinan yang baru, yaitu melalui proyek infrastruktur di tingkat desa dan kecamatan. Jumlahnya kurang lebih Rp 40,1 triliun. Sayangnya, proyek tersebut didasarkan pada pengajuan proposal di tingkat kecamatan atau desa sesuai kebutuhan dan harus lebih dahulu disetujui.
Tujuan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan memang cukup responsif dan sangat bagus. Akan tetapi harus berhati-hati dalam implementasinya. Karena bersifat proyek, bisa jadi pekerjaan bersifat sesaat atau sementara dan kurang berkesinambungan. Maksudnya, bisa jadi tidak terintegrasi dengan program pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, sehingga malah terjadi inefisiensi dan tetap terjadi high cost economy. Itu karena proyek tidak mengikuti rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) ataupun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) milik pemerintah pusat maupun daerah.
Selain itu, sejak era otonomi daerah, aliran dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) kurang lebih di atas dua ratus triliun. Belum lagi dana dekonsentrasi dan dana bagi sumber daya alam. Namun, semua itu belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal secara signifikan.
Lihat saja pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota, hanya 5% yang dapat tumbuh baik. Sisanya kurang menggembirakan. Padahal otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.
Iklim usaha memang belum kondusif. Hal tersebut dapat dibuktikan dari masih rendahnya kegiatan investasi. Bahkan perusahaan-perusahaan masih banyak yang melakukan efisiensi lewat pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti, kemiskinan dan pengangguran masih akan terus terjadi.
Di sisi lain, petani yang masuk kategori miskin selama ini tidak pernah memperoleh bantuan pemerintah. Tetapi dengan tidak adanya lagi patokan harga dasar gabah dan impor beras, mereka semakin miskin karena harga jual produk pertanian terutama beras menjadi rendah, sedangkan petani tidak mampu menahan harga.
Masalah lain yang masih akan terus membuat masyarakat miskin adalah harga BBM. Itu karena hampir semua kegiatan ekonomi masih tergantung pada BBM. Padahal sampai tahun 2007, BBM masih disubsidi pemerintah hingga mencapai Rp 68 triliun.
Tetapi subsidi yang mencapai ratusan triliun masih mengasumsikan harga minyak di pasar internasional 65 dolar AS per barel. Padahal diperkirakan harga minyak bisa mencapai 100 dolar per barel. Apalagi produksi minyak mentah Indonesia makin rendah, sementara permintaan semakin meningkat.
Diperkirakan, tahun 2010 Indonesia mengalami defisit minyak mentah sekitar 1 juta barel per hari. Tentu saja hal ini menguras devisa. Di sisi lain, bila BBM masih disubsidi, anggaran akan terkuras hingga lebih dari Rp 100 triliun.
Itu artinya, kemiskinan masih akan terus menghantui. Karena itu, daripada pemerintah membuat proyek infrastruktur yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing desa atau kecamatan, lebih baik dana untuk itu dimanfaatkan untuk desa mandiri energi yang sekarang digalakkan pemerintah.
Tetapi dari sisi kelembagaan maupun pendanaan, itu belum terkoordinasi dengan baik. Bahkan subsidi bunganya hanya Rp 1 triliun. Karena itu, banyak pihak belum yakin atas keberhasilan program energi alternatif ini.
Beberapa perusahaan dan jajaran pemda, dibantu ITB dan IPB, sudah mulai mengembangkan tanaman jarak hingga ribuan hektare sebagai bahan baku energi alternatif atau biodiesel. Energi tersebut diperkirakan digunakan oleh kapal nelayan, pabrik es, dan unit pembangkit listrik.
Diperkirakan harga biodiesel sekitar Rp 2.000 hingga Rp 2.500. Itu lebih murah dibanding harga solar saat sebesar Rp 4.300 per liter.
Program pengembangan energi alternatif direncanakan menyerap tenaga kerja cukup banyak. Kalau tahun 2006 sekitar 100 ribu orang, pada 2007 tenaga kerja yang terserap bisa membengkak menjadi 1 juta orang, dan tahun 2009 jadi 10 juta orang.
Program itu tidak akan mampu berjalan baik bila tidak didukung pemerintah maupun pihak perusahaan dalam bentuk pengadaan peralatan untuk pengolahan maupun sarana penunjang seperti kompor dan kapal nelayan. (Pelangi, 13 September 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar