Minggu, 08 Februari 2009

Quo Vadis Pertamina


POLEMIK pergantian Direktur Utama Pertamina akhirnya selesai. Selama dua pekan,bursa calon direktur baru perusahaan minyak nasional ini sempat menjadi perbincangan berbagai pihak.

Dalam perbincangan tersebut muncul sederet nama, di antaranya mantan Direktur Hilir Pertamina Hary Purnomo dan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Achmad Faisal. Bahkan,nama Erry Riyana Hardjapamekas, Kuntoro Mangkusubroto, dan Gatot Suwondho juga disebut- sebut sebagai calon kuat bos baru Pertamina.Di hari-hari akhir, muncul nama Karen Agustiawan yang sebagaimana kita ketahui, justru menjadi direktur utama baru Pertamina.

Pergantian direktur utama dilakukan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kekecewaannya terhadap Pertamina. Presiden kecewa karena adanya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), terutama setelah adanya penurunan harga BBM,yang ditambah lagi dengan adanya kebakaran Depo Plumpang. Sebelumnya, Pertamina sempat mendapat teguran dari BP Migas.Bahkan,BP Migas mengancam akan menenderkan distribusi hilir BBM kepada pihak lain di luar Pertamina.

Pertamina memang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) yang bukan saja paling besar dalam kontribusi labanya,melainkan juga penentu masalah energi bagi masyarakat dan dunia usaha yang merupakan bagian penting dalam perekonomian negara. Karena itu, sedikit saja ada masalah, seperti kelangkaan atau distribusi BBM, tentu akan berdampak besar bagi kestabilan ekonomi.

Apalagi menjelang pemilu: ada kelangkaan BBM tentu akan menurunkan kredibilitas pemerintah, bahkan dapat menjadi preseden buruk bagi pemerintah,yang tentu juga akan ambil bagian dalam pemilu, untuk dapat meraih suara. Simpati-simpati masyarakat yang selama ini telah terbangun baik dapat hilang dalam sekejap.Maksud pemerintah menurunkan BBM untuk menyejahterakan masyarakat bisa menjadi tidak ada artinya.

Sejak dikeluarkannya UU Migas, Pertamina tidak lagi menjadi pemain tunggal, tetapi
harus bersaing dengan perusahaan lain yang sebagian besar adalah asing.Dalam menghadapi persaingan,Pertamina harus diakui telah melakukan transformasi di berbagai hal, baik dalam pengembangan produk, investasi, maupun standar dari pom bensin yang jauh lebih baik. Bahkan, beberapa produk oli juga berorientasi ekspor.Sementara untuk efisiensi dalam sistem pengapalan, BBM juga cukup baik.

Dalam hal ini,Pertamina pernah bisa menghemat Rp500 miliar. Masih banyak yangdikembangkanPertamina,termasuk sumber daya manusia. Untuk melakukan perbaikan-perbaikan ini,Pertamina membayar mahal konsultan independen. Ironisnya, tidak semua bisa menerima langkah-langkah Pertamina di atas.Tantangan tersebut khususnya datang dari pihak-pihak yang selama ini menikmati keuntungan di tengah upaya pemerintah memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah tersebut.

Perbaikan demi perbaikan itu sering kali justru menimbulkan gejolak. Oleh sebab itu, pihak manajemen perusahaan pelat merah tidak bisa hanya membereskan dan membersihkan usaha dari tangan kotor. Diperlukan, kerja ekstrakeras karena stakeholder BUMN sangat banyak: kalangan legislatif, pemerintah, pekerja.Semua itu membutuhkan kemampuan komunikasi yang baik.

Bahkan, hal ini sebenarnya lebih dibutuhkan dibanding sekadar membenahi perusahaan. Begitulah kondisi BUMN kita.Suka atau tidak suka, pola hubungan baik perlu dibangun sehingga jika masalah muncul hal itu tidak mudah dijadikankomoditaspolitik.Bahkan, seringkalidalamhalinibanyakpihak dan kepentingan ikut bermain. Di sisi lain, perlu juga diingat bahwa Pertamina dituntut untuk mencari laba.Akan tetapi,pada waktu yang sama Pertamina harus tetap menjalankan fungsi public service obligation karena pertamina mendistribusikan BBM bersubsidi, maupun LPG.

Dalam hal ini, ada dua fungsi yang wajib dijalankan. Fungsi tersebut tentu tidak mudah bagi Pertamina karena sebagian besar pom bensin (95%) dimiliki swasta. Bahkan ada yang dimiliki para pejabat di daerah maupun pusat, sehingga sulit bagi Pertamina untuk mengontrol pola dan arah distribusi penjualan yang dilakukan SPBU.

Demikian juga halnya dengan persoalan distribusi LPG ketika mengalami masalah dari soal ketersediaan tabung sampai distribusi. Kondisi tersebut terjadi karena adanya disparitas harga yang cukup signifikan sehingga sulit untuk mengontrol penggunaannya.Sebagai contoh: ketika tingkat disparitas harga antara BBM yang subsidi dengan yang tidak rendah, justru tidak terjadi kelangkaan.

Tetapi sebaliknya,ketika disparitas tinggi, pengguna lebih memilih yang bersubsidi, sekalipun pengguna tersebut seharusnya tidak berhak menggunakan barang subsidi. Akibatnya kelangkaan terjadi. Sebab, Pertamina melakukan penyediaan sesuai dengan kebutuhan pada umumnya, tetapi permintaan naik lebih tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan siapa pun direktur utamanya bakal tidak mudah mengatasi kelangkaan, terutama ketika terjadi fluktuasi harga.

Dalam hal ini, kita bisa mengacu pada peristiwa digantinya Direktur Pertamina sebelum Ari Soemarno, yaitu Widya Purnama. Pergantian yang sebelum waktunya itu juga disebabkan masalah kelangkaan yang terjadi pada 2005. Kini hal tersebut terjadi lagi dengan dicopotnya Ari. Pertanyaannya, apakah ke depan pergantian direktur,juga akan terjadi karena kelangkaan? Kondisi tersebut perlu mendapat pemecahan masalah yang lebih strategis daripada hanya sekedar mengganti direktur.Ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat dilakukan dalam hal ini.

Pilihan pertama adalah mendorong Pertamina agar mampu bekerja lebih optimal dalam menjalankan usahanya.Untuk itu, perlu dipisahkan antara fungsi perusahaan yang bersifat profit motive dan usaha yang bersubsidi, sehingga tidak ada lagi dualisme fungsi yang akan sangat sulit dilakukan. Alternatif kedua menghilangkan perbedaan harga BBM.Akan tetapi pemerintah juga harus memberikan kompensasi subsidi kepada masyarakat yang menjadi sasaran subsidi secara langsung.

Hal ini bisa dilakukan dengan memberi subsidi tunai, memberi restitusi pajak, memberi jaminan sosial, dan sebagainya. Intinya adalah pemberian subsidi secara langsung kepada pihak yang menjadi target subsidi. Dengan langkah-langkah strategis ini, kelangkaan BBM tidak perlu terjadi. Dengan demikian, gejolak ekonomi sebagai akibat langsung dari kelangkaan BBM bisa dihin-dari. Lebih dari itu,Pertamina tidak perlu menjadi komoditas politik yang sebetulnya tidak perlu.(Koran Sindo, 7 Februari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar