Rabu, 15 April 2009

Takut Lakukan Nasionalisasi Besar-besaran, Pasar Tak Dukung Prabowo


Jakarta - Prabowo Subianto kemungkinan besar akan tetap maju sebagai calon presiden (capres). Tapi sosok Prabowo yang mengusung visi ekonomi kerakyatan kurang disukai pasar. Prabowo dikhawatirkan akan melakukan nasionalisasi besar-besaran.

"Yang ditakutkan pasar tentu nasionalisasi besar-besaran. Ini dianggap terlalu ekstrim. Sebaiknya hal itu dilakukan secara bertahap," kata pengamat ekonomi politik dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, saat dihubungi detikcom, Rabu (15/4/2009).

Berikut petikan wawancara lengkap dengan Aviliani:

Di antara pasangan capres-cawapres yang ada, ketertarikan pasar lebih condong ke mana?

Kalau investor itu tidak suka mengambil risiko. Jadi mereka lebih suka dengan incumbent. Belum lagi pasar melihat kestabilan makro dan instrument-instrumen dalam negeri selama 5 tahun belakangan.

Pemilu legislatif yang relatif aman dengan kemenangan Demokrat juga memberi sentimen positif terhadap pasar.

Bagaimana dengan duet SBY-Sri Mulyani?

Pasar senang banget dengan Sri Mulyani karena berbagai kebijakannya seperti pemotongan anggaran, transparansi dan pembersihan departemen. Namun pasar tetap akan condong kepada incumbent.

Dilihat dari hitung-hitungan politik, pasangan itu juga sulit terealisasi. Demokrat tentu lebih memilih orang partai, agar terbentuk koalisi yang kuat di parlemen. Ini untuk mengamankan jalannya pemerintahan.

Kalau Mega-Prabowo atau Prabowo-Puan?

Rakyat menilai Prabowo orang kaya, tidak nyari duit lagi dan mungkin akan mikirin rakyat dengan benar. Tapi ini tergantung seberapa besar kepercayaan rakyat pada PDIP. Apa sih yang telah dilakukan pemerintahan Mega dahulu? Mega pernah menjual beberapa aset nasional seperti indosat. Itu belum hilang dari pemikiran masyarakat. Prabowo sepertinya cocok buat 2014 lah.

Soal visi kerakyatan Prabowo. Bagaimana kira-kira tanggapan pasar?

Yang ditakutkan pasar tentu nasionalisasi besar-besaran. Ini dianggap terlalu ekstrim. Sebaiknya hal itu dilakukan secara bertahap.

Mengenai peta koalisi yang ada, pendukung Prabowo menilai Blok S kubu neoliberal dan Blok M kubu ekonomi kerakyatan. Tanggapan anda?

Hal itu tidak relevan lagi. Apakah rakyat tahu apa itu neolib dan apa itu kerakyatan. Yang tahu hal itu hanya kalangan elit yang berpendidikan, bukan masyarakat awam.

Lagian kalau bicara mahzab ekonomi itu tidak cuma kerakyatan saja atau neoliberal saja. Kalau kerakyatan saja dan mengabaikan investasi asing, nanti seperti negara sosialis.

Yang jadi PR pemerintahan berikutnya adalah bagaimana investasi sektor riil ditingkatkan untuk pengentasan kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.(Detik.com. 15/4/2009)

Senang dengan Sri Mulyani Tapi Pasar Tetap Condong Pada Duet SBY-JK


Jakarta - Meski pengusungan capres-cawaores belum mendapat 'gong' dari partai-partai politik, namun publik diyakini sudah mulai menilai pasangan mana yang akan membawa perbaikan bagi Indonesia ke depan. Tidak terkecuali dengan para pelaku pasar yang menginginkan stabilitas di bidang ekonomi. Siapakah jago para penguasaha?

"Kalau investor itu tidak suka mengambil risiko. Jadi mereka lebih suka dengan incumbent," kata pengamat ekonomi politik dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, saat dihubungi detikcom, Rabu (15/4/2009).

Menurut Aviliani, dukungan terhadap SBY-JK disebabkan oleh kestabilan makro yang telah diciptakan duet tersebut dalam pemerintahan 5 tahun ke belakang. Belum lagi pelaksanaan Pemilu 9 April lalu yang relatif aman akan menambah derasnya dukungan itu. "Sentimen pasar saat itu positif," ujarnya.

Mengenai kemungkinan duet SBY dengan Sri Mulyani, Aviliani menilai pasar akan tetap memilih incumbent ketimbang pasangan tersebut. Hal ini karena pasar tetap tidak mau ambil risiko.

"Pasar senang banget dengan Sri Mulyani karena berbagai kebijakannya seperti pemotongan anggaran, transparansi dan pembersihan departemen. Namun pasar tetap akan condong kepada incumbent, SBY-JK," ujarnya.

Belum lagi, lanjut Aviliani, hitung-hitungan politik juga akan membuat pasangan SBY-Sri Mulyani sulit terealisasi.

"Demokrat tentu lebih memilih orang partai, agar terbentuk koalisi yang kuat di parlemen. Ini untuk mengamankan jalannya pemerintahan," pungkasnya.