Selasa, 24 Februari 2009

Kredit Mestinya Bisa Tumbuh 20%

Selasa, 24/02/2009 17:24 WIB


Produk KPR BCA (dok detikFinance)

Jakarta - Penurunan pertumbuhan kredit perbankan dari 30 persen di tahun 2008 menjadi 15,6 persen di tahun ini terjadi karena beberapa faktor. Namun faktor utamanya adalah penurunan pertumbuhan ekonomi dan perebutan dana masyarakat antara pemerintah dan perbankan.

Perebutan dana masyarakat itu antara lain tercermin dari penerbitan sukuk oleh pemerintah yang juga dinilai sebagai salah satu pemicu penurunan pertumbuhan kredit.

Hal tersebut dikatakan oleh pengamat ekonomi makro dan perbankan dari INDEF, Aviliani seusai menjadi moderator pada seminar Pendanaan Investasi Lingkungan di Hotel Nikko, Jakarta, Selasa (24/2/2009).

Menurut Aviliani, pemerintah telah mengeluarkan sukuk Rp 5 triliun, sehingga dana masyarakat terserap kedalamnya, padahal perbankan sendiri saat ini sedang membutuhkan dana untuk menggulirkan kredit.

Tahun ini banyak perusahaan yang tidak mengeluarkan obligasi atau sahamnya karena keadaan pasar yang tidak bagus dan mendapatkan dananya dari bank sehingga dengan kondisi seperti ini seharusnya pertumbuhan kredit perbankan bukan menurun tetapi cenderung naik. Menurutnya, pertumbuhan kredit perbankan mestinya bisa mencapai 20 persen.

"Sebenarnya cara untuk memicu pertumbuhan kredit itu jika pemerintah mengeluarkan surat perbendaharaan negara (SPN), bukan sukuk. Namun yang terjadi saat ini karena adanya perebutan dana diambil pemerintah dengan sukuk maka yang terjadi bank kekurangan likuiditas dan akan menimbulkan suku bunga yang naik dan menyebabkan adanya Non Performing Loan (NPL) dan terhambatnya ekspansi," tegasnya.

Pelemahan pertumbuhan kredit perbankan, lanjut Aviliani, sebenarnya dapat dicegah selama pemerintah dapat menjaga APBN keluar dengan cepat.

"APBN itu akan menjadi sumber pertumbuhan utama yaitu 10,4 persen dari GDP. Investasi yang tidak mungkin dari investor luar tapi dari perbankan yaitu 6,5 persen," jelasnya.(qom/qom)

Senin, 16 Februari 2009

Aviliani Suka Bongkar Pasang


Jakarta - Pengamat ekonomi Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Aviliani tidak hanya fasih kalau ditanya soal ekonomi saja. Soal mobil pun, wanita ini pun cukup bersemangat bercerita.

Berhubung mobilnya sudah keren, Aviliani tidak mau bersusah payah mengganti tampilan mobilnya.

"Sebenarnya, saya tidak suka modifikasi. Apalagi di mobil baru ini, fitur-fiturnya sudah lengkap, ada GPS, jadi saya tidak nyasar. Hanya LCD seperti ini saja bisa dibongkar pasang, jadi nggak permanen," ujarnya dengan bersemangat ketika dihubungi detikOto, akhir pekan lalu.

Aviliani mengaku dirinya menyukai BMW, karena image BMW yang energik seperti dirinya. selain itu, ia merasa aman dan nyaman ketika menggunakan BMW.

"Sebelumnya saya sudah pernah pakai yang sama, kemudian saya coba merk lain, tidak puas. Akhirnya saya balik lagi ke mobil ini. Rasanya lebih mantap ketika dikendarai" ujar wanita yang kini menjabat komisaris Bank Rakyat Indonesia ini.

Aviliani bercerita mengenai pengalamannya ketika pertama kali menyetir. Dulu ketika masih di SMP, dia sudah memiliki hasrat yang tinggi untuk bisa menyetir.

Saat itu kendaraan yang dikendarainya masih Daihatsu Minicab tahun 70-an. Sampai-sampai, untuk bisa berkendara di jalan raya, ia nekat 'menembak' di kantor polisi, maksudnya biar segera mungkin dapat Surat Izin Mengemudi alias SIM.

Ketika ditanya, apa mobil impiannya, Aviliani masih menyebut merk yang sama, hanya dengan tipe yang jauh lebih wah.

"Saya sudah nyaman pake BMW. dan kalau ditanya ingin punya mobil apa, jawabannya cukup BMW X5," ujarnya diakhiri dengan tawa yang ramah. (Detik.com)

Minggu, 15 Februari 2009

Bank Bersaing dengan Pemerintah


INILAH.COM, Jakarta - Seretnya likuiditas membuat perbankan nasional harus bersaing dengan pemerintah. Dibukanya sukuk ritel dan proyek-proyek pemerintah yang memiliki aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) nol menjadi problem tersendiri bagi bank.

Dampaknya, kebijakan untuk mengoreksi suku bunga BI rate dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dinilai tidak cukup efektif untuk menurunkan suku bunga perbankan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang bermuara pada problem likuiditas yang dimiliki perbankan khususnya bank menengah kecil.

Perlu langkah konkret dari pemerintah. Berikut kutipan dari wawancara dengan Komisaris Independen BRI Aviliani, di Jakarta, baru-baru ini.

Bagaimana efektivitas kebijakan koreksi BI Rate untuk menurunkan bunga kredit perbankan?

Memang sebenarnya sejak November tahun lalu, BI telah mengoreksi suku bunga BI rate sebesar 100 basis poin. Namun kebijakan koreksi bunga acuan saja belum cukup, karena saat ini problemnya adalah masalah likuiditas.

Bank-bank terutama skala kecil mengenai masih kesulitan menghimpun dana pihak ketiga dari masyarakat, akhirnya mereka ramai-ramai menaikkan suku bunga deposito untuk menarik minat masyarakat.

Kalau suku bunga depositonya tinggi, bagaimana bisa perbankan memberikan bunga kredit yang murah. Kebijakan BI untuk melonggarkan Giro Wajib Minimum (GWM) juga tidak banyak berpengaruh bagi bank dengan skala kecil menengah ini.

Mengapa ada problem likuiditas yang dimiliki oleh perbankan?

Perbankan sangat bertumpu pada dana pihak ketiga untuk kemudian bisa melakukan pembiayaan. Nah saat ini pemerintah juga mengeluarkan sukuk dengan bunga 12%. Ini seharusnya tidak diperuntukkan oleh masyarakat langsung. Karena akibatnya, membuat persaingan bank-bank untuk meraih dana pihak ketiga semakin ketat.

Mereka akhirnya bersaing dengan pemerintah yang mengeluarkan sukuk. Padahal dengan kondisi kemarin Bank Century, tentu kalau bisa memilih mereka akan memilih pemerintah dong.

Sebenarnya berapa posisi persaingan suku bunga kredit yang ditawarkan oleh perbankan?

Dengan posisi 14% sebenarnya berbagai langkah yang dilakukan oleh perbankan idealnya diantisipasi secara cermat. Untuk suku bunga simpanan tentunya mereka mengacu pada penjaminan yang dilakukan oleh LPS.

Mengenai bank-bank dengan skala besar apa problemnya?

Untuk bank-bank dengan skala besar lebih karena disebabkan kredit-kredit pada lembaga pemerintah seperti PLN, PDAM, dan proyek-proyek pemerintah lainnya yang dijamin oleh pemerintah. Pembiayaan terhadap proyek-proyek inikan ATMR-nya kan nol.

Kalau disuruh milih daripada meyalurkan pada bank skala kecil menengah atau proyek-proyek pemerintah ini, tentu bank besar akan lebih memilih proyek pemerintah yang ATMR-nya nol.

Bagaimana dengan kondisi pembiayaan mikro di tingkat BPR?

Bank-bank besar juga mulai enggan untuk masuk disektor pembiayaan BPR, karena kasus yang terjadi di Lampung. (Kasus ini terkait dengan BPR Tripanca Lampung yang membawa kabur dana senilai Rp 4 triliun). Hal-hal seperti ini mencoreng citra BPR dimasyarakat. Akhirnya bank-bank besar juga mulai waspada menilat kinerja BPR ini. [E1]

Minggu, 08 Februari 2009

Quo Vadis Pertamina


POLEMIK pergantian Direktur Utama Pertamina akhirnya selesai. Selama dua pekan,bursa calon direktur baru perusahaan minyak nasional ini sempat menjadi perbincangan berbagai pihak.

Dalam perbincangan tersebut muncul sederet nama, di antaranya mantan Direktur Hilir Pertamina Hary Purnomo dan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Achmad Faisal. Bahkan,nama Erry Riyana Hardjapamekas, Kuntoro Mangkusubroto, dan Gatot Suwondho juga disebut- sebut sebagai calon kuat bos baru Pertamina.Di hari-hari akhir, muncul nama Karen Agustiawan yang sebagaimana kita ketahui, justru menjadi direktur utama baru Pertamina.

Pergantian direktur utama dilakukan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kekecewaannya terhadap Pertamina. Presiden kecewa karena adanya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), terutama setelah adanya penurunan harga BBM,yang ditambah lagi dengan adanya kebakaran Depo Plumpang. Sebelumnya, Pertamina sempat mendapat teguran dari BP Migas.Bahkan,BP Migas mengancam akan menenderkan distribusi hilir BBM kepada pihak lain di luar Pertamina.

Pertamina memang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) yang bukan saja paling besar dalam kontribusi labanya,melainkan juga penentu masalah energi bagi masyarakat dan dunia usaha yang merupakan bagian penting dalam perekonomian negara. Karena itu, sedikit saja ada masalah, seperti kelangkaan atau distribusi BBM, tentu akan berdampak besar bagi kestabilan ekonomi.

Apalagi menjelang pemilu: ada kelangkaan BBM tentu akan menurunkan kredibilitas pemerintah, bahkan dapat menjadi preseden buruk bagi pemerintah,yang tentu juga akan ambil bagian dalam pemilu, untuk dapat meraih suara. Simpati-simpati masyarakat yang selama ini telah terbangun baik dapat hilang dalam sekejap.Maksud pemerintah menurunkan BBM untuk menyejahterakan masyarakat bisa menjadi tidak ada artinya.

Sejak dikeluarkannya UU Migas, Pertamina tidak lagi menjadi pemain tunggal, tetapi
harus bersaing dengan perusahaan lain yang sebagian besar adalah asing.Dalam menghadapi persaingan,Pertamina harus diakui telah melakukan transformasi di berbagai hal, baik dalam pengembangan produk, investasi, maupun standar dari pom bensin yang jauh lebih baik. Bahkan, beberapa produk oli juga berorientasi ekspor.Sementara untuk efisiensi dalam sistem pengapalan, BBM juga cukup baik.

Dalam hal ini,Pertamina pernah bisa menghemat Rp500 miliar. Masih banyak yangdikembangkanPertamina,termasuk sumber daya manusia. Untuk melakukan perbaikan-perbaikan ini,Pertamina membayar mahal konsultan independen. Ironisnya, tidak semua bisa menerima langkah-langkah Pertamina di atas.Tantangan tersebut khususnya datang dari pihak-pihak yang selama ini menikmati keuntungan di tengah upaya pemerintah memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah tersebut.

Perbaikan demi perbaikan itu sering kali justru menimbulkan gejolak. Oleh sebab itu, pihak manajemen perusahaan pelat merah tidak bisa hanya membereskan dan membersihkan usaha dari tangan kotor. Diperlukan, kerja ekstrakeras karena stakeholder BUMN sangat banyak: kalangan legislatif, pemerintah, pekerja.Semua itu membutuhkan kemampuan komunikasi yang baik.

Bahkan, hal ini sebenarnya lebih dibutuhkan dibanding sekadar membenahi perusahaan. Begitulah kondisi BUMN kita.Suka atau tidak suka, pola hubungan baik perlu dibangun sehingga jika masalah muncul hal itu tidak mudah dijadikankomoditaspolitik.Bahkan, seringkalidalamhalinibanyakpihak dan kepentingan ikut bermain. Di sisi lain, perlu juga diingat bahwa Pertamina dituntut untuk mencari laba.Akan tetapi,pada waktu yang sama Pertamina harus tetap menjalankan fungsi public service obligation karena pertamina mendistribusikan BBM bersubsidi, maupun LPG.

Dalam hal ini, ada dua fungsi yang wajib dijalankan. Fungsi tersebut tentu tidak mudah bagi Pertamina karena sebagian besar pom bensin (95%) dimiliki swasta. Bahkan ada yang dimiliki para pejabat di daerah maupun pusat, sehingga sulit bagi Pertamina untuk mengontrol pola dan arah distribusi penjualan yang dilakukan SPBU.

Demikian juga halnya dengan persoalan distribusi LPG ketika mengalami masalah dari soal ketersediaan tabung sampai distribusi. Kondisi tersebut terjadi karena adanya disparitas harga yang cukup signifikan sehingga sulit untuk mengontrol penggunaannya.Sebagai contoh: ketika tingkat disparitas harga antara BBM yang subsidi dengan yang tidak rendah, justru tidak terjadi kelangkaan.

Tetapi sebaliknya,ketika disparitas tinggi, pengguna lebih memilih yang bersubsidi, sekalipun pengguna tersebut seharusnya tidak berhak menggunakan barang subsidi. Akibatnya kelangkaan terjadi. Sebab, Pertamina melakukan penyediaan sesuai dengan kebutuhan pada umumnya, tetapi permintaan naik lebih tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan siapa pun direktur utamanya bakal tidak mudah mengatasi kelangkaan, terutama ketika terjadi fluktuasi harga.

Dalam hal ini, kita bisa mengacu pada peristiwa digantinya Direktur Pertamina sebelum Ari Soemarno, yaitu Widya Purnama. Pergantian yang sebelum waktunya itu juga disebabkan masalah kelangkaan yang terjadi pada 2005. Kini hal tersebut terjadi lagi dengan dicopotnya Ari. Pertanyaannya, apakah ke depan pergantian direktur,juga akan terjadi karena kelangkaan? Kondisi tersebut perlu mendapat pemecahan masalah yang lebih strategis daripada hanya sekedar mengganti direktur.Ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat dilakukan dalam hal ini.

Pilihan pertama adalah mendorong Pertamina agar mampu bekerja lebih optimal dalam menjalankan usahanya.Untuk itu, perlu dipisahkan antara fungsi perusahaan yang bersifat profit motive dan usaha yang bersubsidi, sehingga tidak ada lagi dualisme fungsi yang akan sangat sulit dilakukan. Alternatif kedua menghilangkan perbedaan harga BBM.Akan tetapi pemerintah juga harus memberikan kompensasi subsidi kepada masyarakat yang menjadi sasaran subsidi secara langsung.

Hal ini bisa dilakukan dengan memberi subsidi tunai, memberi restitusi pajak, memberi jaminan sosial, dan sebagainya. Intinya adalah pemberian subsidi secara langsung kepada pihak yang menjadi target subsidi. Dengan langkah-langkah strategis ini, kelangkaan BBM tidak perlu terjadi. Dengan demikian, gejolak ekonomi sebagai akibat langsung dari kelangkaan BBM bisa dihin-dari. Lebih dari itu,Pertamina tidak perlu menjadi komoditas politik yang sebetulnya tidak perlu.(Koran Sindo, 7 Februari 2009)

Rabu, 04 Februari 2009

ANTV Siap 'Telanjangi' Aburizal Bakrie


Kapanlagi.com - Menko Kesra, Aburizal Bakrie akan berbicara blak-blakan tentang berbagai isu sosial, termasuk kasus lumpur Lapindo yang berlarut-larut. Aburizal, yang juga pemilik usaha Bakrie, akan melakukan hal tersebut saat tampil dalam episode pertama program talkshow bertajuk 4 LAWAN SATU, yang akan ditayangkan pada Kamis, 5 Februari 2009, pukul 22.00 WIB.

Sesuai tajuknya, talkshow ini dibawakan oleh empat pembawa acara. Dalam episode perdana itu, Aburizal Bakrie akan berbincang-bincang santai dengan empat pembawa acara, Lula Kamal, presenter radio Ida Arimurti, presenter dan bintang sinetron Meisya Siregar, dan pengamat ekonomi Aviliani.

Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie akan ditantang untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh ke empat pembawa acara tersebut.

'4 LAWAN SATU' merupakan salah satu program terbaru ANTV yang membahas tema aktual mengenai politik, ekonomi, sosial dan budaya, dengan nara sumber yang menarik dan kontroversial.

Dengan durasi 60 menit, program yang juga akan menampilkan para politisi terkemuka sebagai nara sumber ini menggunakan format talkshow yang unik, di mana nara sumber diuji dalam suasana santai oleh empat host perempuan dari berbagai kalangan seperti selebriti, pengamat maupun wartawan.

Pembawa acara bisa berganti di episode-episode berikutnya, namun tetap mewakili berbagai kalangan perempuan. Mereka juga berperan sebagai panelis dan mengajukan pertanyaan mengenai berbagai topik yang sedang hangat di masyarakat, serta solusi berbagai permasalahan bangsa. Untuk membuat suasana lebih santai, acara juga menampilkan unsur hiburan musik.

Sementara itu, Produser Program, Eko Ardiyanto mengatakan, "Kami mencoba menyajikan sesuatu yang berbeda dalam 4 LAWAN SATU, mengapa harus ada empat host?, karena akan memperkaya isi diskusi maupun obrolan dengan narasumber. Dengan host dari berbagai latar belakang, akan lebih banyak isu yang bisa dibahas."

Azkarmin Zaini, Pemimpin Redaksi ANTV, mengatakan, rencananya program ini di masa datang akan juga disiapkan sebagai ajang uji kandidat calon legislatif dan calon presiden. (Sumber: Kapanlagi.com)

Minggu, 01 Februari 2009

Revitalisasi Sektor Pertanian


Menjelang dua tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Presiden menyampaikan pidato kenegaraan pada Agustus 2005 dan Agustus 2006. Dalam pidato tersebut, yang menjadi fokus adalah program pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran melalui pembangunan infrastruktur dan revitalisasi pertanian, perikanan, serta kehutanan.

Visi pemerintah sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat, khususnya di sektor pertanian, karena hampir 70% masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian. Namun dalam perkembangannya belum terjadi perubahan mendasar di sektor pertanian sesuai harapan pemerintah. Angka kemiskinan dan pengangguran justru terus meningkat. Sedangkan revitalisasi pertanian, perkebunan, dan perikanan belum juga sesuai dengan target. Itu tercermin pada kehidupan petani yang semakin memburuk, miskin, tertinggal, dan termarginalkan. Selain itu, produksi nasional dan ekspor belum tumbuh signifikan.

Terhambatnya pengembangan revitalisasi pertanian akibat mekanisme pasar dibiarkan membuat harga beli di tingkat petani tidak stabil.

Dalam praktik, pengumpul atau pedagang memanfaatkan situasi untuk membeli hasil petani dengan harga murah, dan mereka menjualnya dengan harga mahal karena mereka menguasai pasar dan informasi.

Petani adalah pihak yang dirugikan karena mereka tidak berdaya. Sejak anggaran subsidi pemerintah menyusut, mereka harus menyediakan sendiri bibit, pupuk, dan sarana produksi lain sehingga biaya tanam menjadi mahal. Dari sisi pembiayaan, perbankan masih enggan menyalurkan kredit ke sektor pertanian karena dianggap kurang layak dari sisi pengembalian, tingginya risiko, dan rendahnya kemampuan dalam replanting atau peremajaan. Belum lagi adanya persaingan harga yang tidak fair karena pertanian di negara-negara maju disubsidi.

Masalah struktural itu menyebabkan perbankan enggan menyalurkan kredit ke sektor pertanian dan perkebunan. Per Juli 2006, kredit perbankan di sektor pertanian dan perkebunan tidak lebih hanya 6% dari total kredit yang tersalur secara nasional. Selain itu, nilai tambah (value added) yang diciptakan relatif rendah karena komoditas yeng diekspor lebih banyak berupa bahan mentah.

Di Indonesia sektor pertanian dan perkebunan telah lama tidak memperoleh subsidi dan penyediaan perlengkapan tanam. Ini bukan merupakan kebijakan popular. Indonesia lebih mengikuti anjuran ekonom aliran kapitalis. Alasannya, proteksi menjadi penyebab inefisiensi pertanian di negara berkembang. Padahal di negara-negara maju, petani memperoleh subsidi. Petani AS, misalnya, memperoleh lebih dari US$ 150 per hektare. Lalu petani Uni Eropa menerima US$ 300 per hektare (Bingsheng, 2001).

Selain itu, perusahaan multinasional sering menghambat kompetisi melalui exclusive contract dengan host government. Mereka tidak melakukan reinvestasi yang proporsional dengan keuntungan yang diperoleh, menekan tumbuhnya industri lokal dan memperburuk keseimbangan desa-kota. Mereka juga membayar upah murah, tidak kompatibel dengan rasa kemanusiaan dan tuntutan teknologi, juga menghindari pajak lokal melalui transfer pricing, kontribusi pajak sering lebih rendah daripada nilai fasilitas yang diberikan (Pakpahan, 2004).

Bila pemerintah ingin berhasil dalam mengentaskan kemiskinan maupun pengangguran dan mencapai prestasi sesuai visi dan target pertumbuhan 6-7% per tahun, juga peningkatan daya beli masyarakat, maka diperlukan berbagai upaya. Antara lain, pertama, dukungan pendanaan terkait dengan subsidi bunga yang baru dianggarkan pemerintah pada tahun 2007 sebesar Rp 1 triliun -- namun terbatas pada sektor energi alternatif. Seharusnya subsidi juga diberikan pada sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi komoditas unggulan berorientasi ekspor. Dengan demikian, anggaran bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 4 triliun dapat dialihkan pada sektor pertanian dan perkebunan.

Kedua, bila tidak memungkinan bank-bank umum berkontribusi lebih besar pada sektor pertanian dan perkebunan, maka perlu didirikan bank pertanian (Pakpahan, 2004) seperti di negara lain (Malaysia dengan Bank Pertanian Malaysia, Thailand dengan Bank for Agriculture and Agricultural Cooperative (BAAC), China dengan Agriculture Bank of China). Dengan begitu indikator kesehatan bank dibuat berbeda dengan bank umum lain.

Ketiga, perlindungan petani atas bencana dan kekeringan dengan kompensasi asuransi kerugian. Keempat, dukungan terhadap infrastruktur pertanian dan perkebunan. Untuk perkebunan berpola perkebunan inti rakyat (PIR), inti plasma dapat dikembangkan lebih baik melalui swasta dan BUMN untuk membeli hasil (output) petani atau sebagai lembaga pasar. Dengan demikian, tercipta stabilisasi pendapatan petani, bukan sekadar stabilisasi harga. Ini niscaya berdampak terhadap stabilitas pendapatan petani.

Kelima, memanfaatkan koperasi atau BUMN terkait sebagai penyedia bibit, pupuk, dan kelengkapan lain bagi petani agar tidak terjadi kelangkaan maupun stabilisasi harga pada faktor input. Kelima, pengembangan teknologi agar kualitas hasil selalu memenuhi permintaan pasar dan mampu bersaing.

Ke depan kita tidak hanya membanggakan potensi sumber daya alam di sektor migas, tetapi memiliki daya saing tinggi di sektor nonmigas, khususnya pertanian dan agroindustri. Yang utama adalah kesejahteraan masyarakat sesuai amanat konstitusi harus diwujudkan.***


Energi Alternatif dan Pengentasan Kemiskinan


Setelah pidato kenegaraan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat kritikan dari para ekonom maupun berbagai kalangan, khususnya terkait dengan data kemiskinan yang dianggap menggunakan data yang kurang valid. Karena data yang dipakai sebelum terjadi kenaikan harga BBM tahun 2005, sehingga dalam pidato tersebut disebutkan bahwa angka kemiskinan menurun. Padahal dari perhitungan para ekonom, kemiskinan justru naik cukup tinggi.

Kondisi itu dalam beberapa waktu cukup banyak dibahas berbagai kalangan di berbagai media. Bahkan Presiden sempat mengundang Kepala BPS dalam sidang kabinet. Presiden meminta BPS mengumumkan kepada publik tentang angka kemiskinan yang sebenarnya.

Ketika kenaikan harga BBM akan diumumkan, pemerintah telah memiliki program pengentasan kemiskinan berupa bantuan langsung tunai (BLT). Tetapi program tersebut belum mampu terbukti efektif menurunkan kemiskinan.

Apalagi, dalam implementasinya, dana BLT yang diterima rakyat miskin habis untuk konsumsi sesaat dan segera miskin lagi. Hal tersebut karena seolah masyarakat diberi ikan, bukan kail.

Melihat tingginya angka kemiskinan yang diumumkan BPS, pemerintah merespons dengan kebijakan pengentasan kemiskinan yang baru, yaitu melalui proyek infrastruktur di tingkat desa dan kecamatan. Jumlahnya kurang lebih Rp 40,1 triliun. Sayangnya, proyek tersebut didasarkan pada pengajuan proposal di tingkat kecamatan atau desa sesuai kebutuhan dan harus lebih dahulu disetujui.

Tujuan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan memang cukup responsif dan sangat bagus. Akan tetapi harus berhati-hati dalam implementasinya. Karena bersifat proyek, bisa jadi pekerjaan bersifat sesaat atau sementara dan kurang berkesinambungan. Maksudnya, bisa jadi tidak terintegrasi dengan program pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, sehingga malah terjadi inefisiensi dan tetap terjadi high cost economy. Itu karena proyek tidak mengikuti rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) ataupun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) milik pemerintah pusat maupun daerah.

Selain itu, sejak era otonomi daerah, aliran dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) kurang lebih di atas dua ratus triliun. Belum lagi dana dekonsentrasi dan dana bagi sumber daya alam. Namun, semua itu belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal secara signifikan.

Lihat saja pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota, hanya 5% yang dapat tumbuh baik. Sisanya kurang menggembirakan. Padahal otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.

Iklim usaha memang belum kondusif. Hal tersebut dapat dibuktikan dari masih rendahnya kegiatan investasi. Bahkan perusahaan-perusahaan masih banyak yang melakukan efisiensi lewat pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti, kemiskinan dan pengangguran masih akan terus terjadi.

Di sisi lain, petani yang masuk kategori miskin selama ini tidak pernah memperoleh bantuan pemerintah. Tetapi dengan tidak adanya lagi patokan harga dasar gabah dan impor beras, mereka semakin miskin karena harga jual produk pertanian terutama beras menjadi rendah, sedangkan petani tidak mampu menahan harga.

Masalah lain yang masih akan terus membuat masyarakat miskin adalah harga BBM. Itu karena hampir semua kegiatan ekonomi masih tergantung pada BBM. Padahal sampai tahun 2007, BBM masih disubsidi pemerintah hingga mencapai Rp 68 triliun.

Tetapi subsidi yang mencapai ratusan triliun masih mengasumsikan harga minyak di pasar internasional 65 dolar AS per barel. Padahal diperkirakan harga minyak bisa mencapai 100 dolar per barel. Apalagi produksi minyak mentah Indonesia makin rendah, sementara permintaan semakin meningkat.

Diperkirakan, tahun 2010 Indonesia mengalami defisit minyak mentah sekitar 1 juta barel per hari. Tentu saja hal ini menguras devisa. Di sisi lain, bila BBM masih disubsidi, anggaran akan terkuras hingga lebih dari Rp 100 triliun.

Itu artinya, kemiskinan masih akan terus menghantui. Karena itu, daripada pemerintah membuat proyek infrastruktur yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing desa atau kecamatan, lebih baik dana untuk itu dimanfaatkan untuk desa mandiri energi yang sekarang digalakkan pemerintah.

Tetapi dari sisi kelembagaan maupun pendanaan, itu belum terkoordinasi dengan baik. Bahkan subsidi bunganya hanya Rp 1 triliun. Karena itu, banyak pihak belum yakin atas keberhasilan program energi alternatif ini.

Beberapa perusahaan dan jajaran pemda, dibantu ITB dan IPB, sudah mulai mengembangkan tanaman jarak hingga ribuan hektare sebagai bahan baku energi alternatif atau biodiesel. Energi tersebut diperkirakan digunakan oleh kapal nelayan, pabrik es, dan unit pembangkit listrik.

Diperkirakan harga biodiesel sekitar Rp 2.000 hingga Rp 2.500. Itu lebih murah dibanding harga solar saat sebesar Rp 4.300 per liter.

Program pengembangan energi alternatif direncanakan menyerap tenaga kerja cukup banyak. Kalau tahun 2006 sekitar 100 ribu orang, pada 2007 tenaga kerja yang terserap bisa membengkak menjadi 1 juta orang, dan tahun 2009 jadi 10 juta orang.

Program itu tidak akan mampu berjalan baik bila tidak didukung pemerintah maupun pihak perusahaan dalam bentuk pengadaan peralatan untuk pengolahan maupun sarana penunjang seperti kompor dan kapal nelayan. (Pelangi, 13 September 2006)

Mengevaluasi Konversi Gas


Sejak masa pemerintah Orde Baru kebijakan untuk memberikan subsidi pada bahan bakar minyak dan gas (migas) bagi masyarakat sudah dilakukan.

Pengambilan kebijakan pada saat itu dapat dimengerti karena produksi migas Indonesia pada era 1980-an (oil boom) melampaui kebutuhan domestik sehingga pendapatan dari sektor migas pun melebihi pendapatan sektor nonmigas. Namun pada era 2000-an kondisi telah berubah,produksi migas telah jauh di bawah kebutuhannya sehingga Indonesia yang dulunya sebagai negara net eksportir, menjadi net importir.

Walaupun demikian, pemerintah sesudah era Orde Baru terus memberikan subsidi migas karena kondisi masyarakat kelas bawah belum se-penuhnya recovered.Hal itu tecermin pada angka kemiskinan yang terus bertengger di angka double digit, terutama setelah krisis ekonomi 1997.

Memang, tidak mudah bagi pemerintah melepas subsidi migas karena masalah energi memang bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi lebih kental dengan persoalan politik karena dapat memengaruhi kinerja pemerintah. Karena itu,walaupun di dalam aturan tahun 2007 seharusnya tidak ada lagi subsidi untuk minyak, tidak mudah bagi pemerintah untuk melaksanakannya.

Akhirnya terbitlah keputusan presiden (keppres) yang tetap memberikan subsidi minyak, terutama untuk masyarakat kelas bawah. Di masa pemerintah SBY-JK memang harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi telah mengalami kenaikan dua kali.Kebijakan tersebut bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah.

Apalagi kenaikan kedua dilakukan ketika daya beli belum membaik dan menjelang pemilu.Tentu saja sangat tidak populis.Namun pilihan untuk mengurangi subsidi dilakukan pemerintah karena harga minyak dunia telah menembus USD100 per barel, jauh di bawah asumsi APBN.

Apabila subsidi tidak dikurangi, hal itu akan berdampak pada kondisi keuangan negara karena bisa jadi subsidi BBM menyerap 30% APBN sehingga ruang gerak anggaran untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dapat terhambat.Di satu sisi dengan adanya perbedaan (disparitas) harga yang cukup besar antara BBM bersubsidi dan yang tidak mengakibatkan semakin besarnya perilaku moral hazard dari penggunaan minyak bersubsidi bukan saja oleh masyarakat kelas bawah, tetapi juga masyarakat kelas atas maupun industri.

Penyelundupan besar-besaran kian marak. Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga,selalu timbul pro dan kontra.Yang pro memang dapat memahami kondisi keuangan negara karena subsidi tidak tepat sasaran sehingga subsidi yang besar perlu dialihkan untuk kepentingan yang lebih besar bagi masyarakat.

Sedangkan yang kontra mengatakan bahwa kondisi daya beli masyarakat masih buruk sehingga akan menambah kemiskinan. Bagi mereka Indonesia memiliki sumber daya migas yang luar biasa tentu harus mampu menentukan harga domestik sendiri tanpa dipengaruhi harga minyak dunia,produksi sebaiknya untuk domestik saja.Selain itu, persepsi tentang tidak efisiennya pengelolaan migas, kerja sama yang tidak menguntungkan dengan negara lain dan sebagainya ikut mengemuka.

Gap

Selain menaikkan harga BBM, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan baru,yaitu melakukan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas, khususnya bagi rumah tangga yang biasa menggunakan kompor minyak tanah.Pemerintah melalui Pertamina memberi tabung gas dengan ukuran 3 kg serta kompor gratis kepada masyarakat kelas bawah.

Kebijakan ini dilakukan untuk menyiasati harga BBM yang terus melonjak yang bisa berdampak pada melambungnya subsidi minyak tanah. Dengan konversi diharapkan subsidi akan dapat dikurangi karena subsidi gas (elpiji) jauh lebih rendah. Pada awalnya pelaksanaan konversi juga menimbulkan berbagai penolakan baik dari masyarakat, DPR maupun pihak-pihak lain.

Alasannya program konversi ini kurang sosialisasi, jumlahnya tidak cukup,minyak tanah sudah membudaya di masyarakat, dan berbagai keberatan lain.Walaupun mengalami berbagai tekanan, pemerintah terus melakukan programnya untuk melakukan konversi. Setelah konversi dilakukan terusmenerus, akhirnya sebagian besar masyarakat mulai menerima keputusan pemerintah, khususnya di beberapa daerah yang menjadi target.

Untuk selanjutnya secara bertahap bahan bakar gas akan terus diupayakan merata ke seluruh Indonesia paling lambat tahun 2010.Konversi ini menurut pemerintah akan lebih menghemat APBN karena subsidi elpiji jauh lebih rendah dari subsidi BBM. Setelah konversi minyak tanah ke elpiji dilaksanakan,ternyata bila melihat struktur produksi dan kebutuhan masih terjadi gap.

Produksi elpiji domestik lebih rendah dari kebutuhan di dalam negeri. Saat ini konsumsi elpiji dalam negeri telah menembus level 1,080 juta metrik ton (dengan perincian 918.000 metrik ton untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan 162.000 metrik ton untuk industri),setiap tahunnya.Produksinya 82% berasal dari kilang minyak Pertamina,sedangkan kekurangannya sekitar 15–16% berasal dari para kontraktor production sharing (KPS) yang ada di dalam negeri.

Posisi tersebut merupakan gambaran saat konversi belum sepenuhnya dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia karena baru menjangkau Jabodetabek,Bandung,Surabaya,Bali, Yogyakarta, Semarang, dan Cirebon. Karena itu, bila semua daerah menggunakan gas, permintaan akan lebih besar dari yang saat ini ada. Itu berarti akan terjadi gap yang semakin besar antara ketersediaan domestik dengan permintaan yang semakin tinggi. Di sisi lain kelolaan Pertamina belum bertambah, justru yang lebih banyak berproduksi adalah KPS.

Kenaikan Harga dan Kelangkaan Gas

Fenomena menarik mulai terjadi. Ternyata harga gas dunia juga mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan harga BBM,tetapi subsidi gas tetap. Hal ini mengakibatkan Pertamina secara bertahap menaikkan harga. Terakhir kenaikan dilakukan 25 Agustus untuk berat 3 kg dan 12 kg sehingga terdapat disparitas harga antara elpiji dengan berat 3 kg,12 kg dan 50 kg.Akibat terjadinya disparitas ini, mulai terjadi kelangkaan di berbagai tempat.

Kondisi tersebut mengakibatkan timbulnya perilaku moral hazard karena berbagai pihak tentu mencari barang yang lebih murah sehingga diperkirakan rumah tangga kelas menengah membeli gas tabung yang 3 kg, demikian pula halnya industri-industri kecil. Sementara industri menengah atau besar diduga memanfaatkan tabung gas 12 kg.Akibatnya terjadi kelangkaan gas di berbagai tempat.

Kondisi ini mengakibatkan harga justru terkerek di atas yang ditetapkan Pertamina. Selain itu kehidupan rumah tangga kelas bawah juga terganggu, karena mereka harus antre, bahkan mengeluarkan dana yang lebih besar. Dari kondisi makronya, tentu dampaknya terhadap inflasi yang kontribusinya semakin tinggi.

Keluhan masyarakat saat ini adalah selain kelangkaan, harga yang terus naik, sehingga mereka merasa dikecewakan, karena konversi baru saja dilakukan. Ke depan memang sangat dibutuhkan kebijakan energi yang lebih baik, mengingat harga gas elpiji pun akan terus mengikuti naik turunnya harga minyak.Oleh karena itu dengan cadangan gas yang cukup banyak di Indonesia, perlu ada upaya mempercepat investasi gas, dengan memberikan berbagai insentif.

Akan tetapi dalam perjanjian tersebut perlu adanya ketentuan domestic market obligation (DMO) sehingga persediaan dalam negeri dapat terpenuhi. Adapun dari sisi harga bila Pertamina akan tetap pada pendirian penerapan disparitas harga,perlu penggunaan kartu kendali sehingga mengurangi prilaku moral hazard serta melibatkan pemerintah daerah untuk melakukan monitoring.(*)(Koran SIndo, 10 September 2008)

Kontroversi di Balik Rangkap Jabatan


Pengunduran diri Darmin Nasution sebagai Komisaris Utama BEI telah mengundang reaksi berbagai pihak, bahwa pejabat negara sebaiknya tidak merangkap jabatan. Hal senada juga menjadi sorotan KPK dan Menteri Keuangan karena dianggap berpotensi terjadinya benturan kepentingan. Berbeda halnya dengan Wakil Presiden dan Menteri BUMN yang tidak memasalahkan rangkap jabatan karena merupakan rangkaian tugas dari pemerintah untuk mengawasi aset negara yang ada di BUMN. Memang harus diakui bahwa boleh-tidaknya rangkap jabatan belum ada aturan yang jelas, bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pun baru berencana mengaturnya. Saat ini masih bergantung pada kesadaran masing-masing individu, ada yang rangkap jabatan menerima gaji dari dua sumber baik sebagai pejabat negara maupun komisaris, ada yang merangkap jabatan tapi menyerahkan satu gajinya ke kas negara seperti yang dilakukan Anggito Abimanyu, ada pula yang langsung mengundurkan diri seperti Darmin Nasution, yang mungkin akan diikuti Sekjen Depkeu yang saat ini menjabat Komisaris Utama Bank Permata.
Ide rangkap jabatan di masa lalu dapat dipahami, mungkin bukan semata untuk menjaga aset negara, melainkan karena pemerintah belum mampu memberikan gaji cukup kepada para pejabatnya terutama eselon I sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan keprofesionalitasannya sehingga penempatan sebagai komisaris di berbagai BUMN merupakan solusi yang akan membantu tambahan pendapatan. Perlu diketahui bahwa sampai saat ini baru Departemen Keuangan saja yang sudah menaikkan gaji pejabat dan pegawainya, tetapi belum diikuti departemen yang lain. Memang pilihan sulit bagi pemerintah di tengah gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi bagi semua pejabat dan PNS-nya, namun belum mampu menggunakan APBN-nya untuk menaikkan gaji pejabat negaranya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
***
Terlepas dari boleh-tidaknya rangkap jabatan, yang menjadi pertanyaan apakah kedua tugas tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan optimal sehingga mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang berkualitas?

Di satu sisi sebagai pejabat negara sangat banyak tugas yang harus diselesaikan mengingat beban dan tanggung jawabnya besar yang diemban terutama setelah era reformasi, tuntutan terhadap reformasi birokrasi sangat diharapkan berbagai pihak, mengingat globalisasi tidak dapat terhindarkan sehingga membutuhkan perubahan birokrasi yang lebih baik. Untuk menjawab perubahan tersebut pemerintah telah mencanangkan reformasi birokrasi agar para birokrat dapat mengubah cara kerjanya agar mampu menjalankan tugas dengan lebih baik. Maklum selama ini kritik publik terhadap birokrasi sangat keras, birokrasi selalu diidentikkan dengan lamban, korup, malas dan tidak profesional, bahkan ada moto yang dikenal masyarakat 'kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah'. Akibatnya berbagai urusan yang berkaitan dengan birokrasi sering menyulitkan segala urusan, dan ujung-ujungnya memerlukan biaya. Akibatnya high cost economy yang menurunkan daya saing juga dituduhkan publik kepada para birokrat.
Untuk menghilangkan kesan buruk tersebut, tugas para pejabat adalah membantu menterinya untuk mencari terobosan-terobosan baru agar mampu mengurangi kesan buruk yang melekat pada para birokrat selama ini. Apalagi tantangan birokrat saat ini dan mendatang adalah semakin kompleks karena modernitas masyarakat yang semakin meningkat, serta keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Hal itu menuntut kemampuan birokrasi melakukan penyesuaian agar tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya (Dwiyanto, 2000). Pendapat lain seperti Weber juga mengatakan birokrasi agar menjadi alat pembangunan yang bekerja secara efisien, rasional profesional dan berorientasi melayani masyarakat. Apalagi di Indonesia masih menunjukkan perilaku pemimpin merupakan contoh atau teladan bagi bawahannya, yang identik pula dengan pengawasan melekat yang harus dilakukan para pejabat eselon I.
***
Tugas rangkap yang biasa diberikan adalah sebagai komisaris di BUMN. Saat ini tugas sebagai komisaris di BUMN juga bukan tugas yang ringan karena tugas komisaris saat ini sangat berbeda dengan masa lalu. Menurut UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dalam pasal-pasalnya mengatakan tugas komisaris di Pasal 108 ayat 1 bahwa dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya baik perseroan, usaha perseroan, dan memberikan nasihat kepada direksi. Pada ayat 4 dinyatakan juga bahwa dewan komisaris merupakan majelis sehingga setiap anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri melainkan bersifat kolegial. Pasal yang lain yang paling menuntut tanggung jawab pribadi adalah Pasal 114 ayat 3 mengatakan anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas. Dan ayat 4 juga menyatakan dewan komisaris mempunyai tanggung jawab renteng termasuk harta kekayaan pribadi. Dalam hal itu tugas dan tanggung jawab komisaris juga menuntut waktu dan pikiran karena turut menanggung bila ada kerugian, atau bila tidak menjalankan tugas dengan baik.
Dengan melihat tugas masing-masing baik sebagai pejabat maupun komisaris di BUMN sangat membutuhkan kerja profesional, dan waktu yang cukup, tampaknya tidak adil bila melaksanakan seperti yang dikatakan wakil presiden bahwa tugas rangkap jabatan tidak masalah asal tidak menerima gaji dobel, padahal tidak hanya tugasnya saja yang rangkap, tetapi melekat tanggung jawab yang juga rangkap. Hal itu justru memberatkan para birokrat yang menerima tugas rangkap. Selama ini belum pernah terjadi, khususnya yang rangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN dengan memperoleh gaji hanya satu sumber. KPK pun mengakui pejabat negara harus dinaikkan gajinya, agar tidak perlu rangkap jabatan.
Untuk mengatasi hal ini memang diperlukan ketegasan dari pemerintah sendiri untuk membolehkan atau tidaknya pejabat rangkap jabatan, terutama terkait sebagai komisaris di BUMN maupun swasta. Karena tampak tidak elok apabila antarpejabat negara membuat pernyataan yang berbeda satu dengan lainnya terkait dengan rangkap jabatan.
Apabila pemerintah memang serius melakukan reformasi birokrasi, tentu saja sangat membutuhkan konsentrasi para pejabat dalam melakukan berbagai perubahan, seperti yang ditulis Osborne bahwa reformasi birokrasi dapat dilakukan asalkan ada perubahan paradigma dari sistem birokrasi menjadi sistem pemerintahan entrepreuner seperti pada buku New Public Management yang dikenal dengan konsep reinventing government mempunyai 10 prinsip, yaitu (1) pemerintah sebagai katalis yang fokus pada pemberian pengarahan sehingga tidak perlu melakukan sesuatu yang telah mampu dilakukan oleh swasta; (2) pemerintah milik masyarakat sehingga perlu memberdayakan masyarakat bukan sekadar melayani; (3) pemerintah yang kompetitif yang mampu menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan; (4) pemerintah yang digerakkan misi, yaitu mengubah organisasi yang digerakkan peraturan menjadi organisasi yang digerakkan misi; (5) pemerintah yang berorientasi pada hasil, yaitu bentuk insentif didasarkan pada standar kinerja; (6) pemerintah berorientasi pada pelanggan, yaitu memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi; (7) pemerintahan wirausaha yaitu pemerintah yang mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekadar membelanjakan; (8) pemerintah antisipatif yaitu berupaya mencegah masalah; (9) pemerintah desentralisasi yaitu hierarki menuju partisipatif dan tim kerja baik dengan masyarakat maupun LSM; (10) pemerintah berorientasi pada sistem insentif, yaitu tidak memerintah, tetapi menggunakan insentif agar birokrat tidak melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat.
Untuk melakukan hal tersebut para pejabat seharusnya menjadi motor penggeraknya. Namun di sisi lain, jangan hanya menambah tugas dan tanggung jawabnya, tetapi menurut Henry Fayol masalah pengupah yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya juga perlu diberikan. Sehingga pemerintah perlu memikirkan untuk memberikan kompensasi yang cukup. Masyarakat mungkin tidak akan keberatan apabila anggaran negara sebagian untuk meningkatkan gaji pejabat negara maupun pegawai negeri sipil, asalkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan dapat terpenuhi, serta berbagai kebijakan yang dikeluarkan selalu mengarah pada kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian tidak ada lagi alasan rangkap jabatan, kalaupun pemerintah memerlukan orang untuk menjaga aset negara di BUMN, toh bisa menunjuk orang kepercayaan yang memenuhi syarat yang dibutuhkan termasuk profesionalitas, yang tidak harus pejabat.


'Untuk melakukan reformasi birokrasi para pejabat seharusnya menjadi motor penggeraknya. Namun di sisi lain, jangan hanya menambah tugas dan tanggung jawabnya, tanpa memberikan kompensasi yang cukup.' (Media Indonesia, Senin, 16 Juni 2008)