Jumat, 30 Januari 2009

Paket Kebijakan Ekonomi, Kenapa Gagal?


Empat paket kebijakan ekonomi - sektor energi, moneter, fiskal, dan bidang ekonomi lain - ternyata gagal menenangkan pasar. Keempat paket tersebut tak mampu memberikan kepastian pada dunia usaha. Apalagi target atau indikator terukur dalam jangka pendek tak ikut dicantumkan.

Terang saja, kebijakan pemerintah ini tak mengembalikan kepercayaan pasar yang terus bimbang akibat nilai tukar rupiah terus terdepresi dan harga minyak mentah dunia kian meroket. Pada prinsipnya, pasar menginginkan kejelasan: kapan dan berapa besaran kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga diperoleh kepastian dalam jangka pendek.

Terlepas dari itu, tekanan defisit anggaran - akibat lonjakan harga minyak dunia yang menembus level 70 dolar AS per barel - harus segera diselesaikan. Dalam kondisi sekarang, tidak mungkin lagi anggaran negara memberi subsidi BBM. Apalagi 45 persen kebutuhan BBM dalam negeri masih mengandalkan impor.

Dari sisi moneter, kenaikan BI Rate dari 8,5 persen menjadi 10,5 persen mengancam dunia usaha - karena akan direspon bank-bank dengan menaikkan suku bunga kredit. Jadi, kebijakan ketat Bank Indonesia tanpa kombinasi kebijakan pemerintah yang komprehensif dan solid akan semakin memukul sektor riil. Sementara dari sisi fiskal, untuk mengurangi tekanan APBN, pemerintah masih mengandalkan privatisasi BUMN, tambahan utang luar negeri, dan penerimaan pajak yang jelas membutuhkan waktu lama. Padahal rakyat berharap solusi yang bersifat segera.

Presiden Yudhoyono memang telah mendorong investasi - antara lain dengan mempercepat pengajuan RUU Investasi dan RUU Perpajakan ke DPR. Tapi tawaran ini juga tidak bisa dilaksanakan segera karena memerlukan proses penggodokan di DPR.

Solusi konkret untuk memacu investasi, sebenarnya, adalah ketegasan pemerintah menangani pungutan liar dan menjamin ketersediaan energi, khususnya bagi industri padat karya.

Jadi, paket kebijakan pemerintah tersebut tidak fokus, dan tidak memberikan solusi konkret. Karena itu, hampir bisa dipastikan ekonomi Indonesia ke depan penuh ketidakpastian - bahkan akan diwarnai gejolak. Untuk itu, harus ada langkah strategis agar keadaan tidak memburuk.

Wacana perombakan kabinet sah-sah saja, karena kebijakan pemerintah memang tidak menjanjikan. Namun yang terpenting, bagaimana pemerintah membuat kebijakan yang komprehensif, terkoordinasi, dan antisipatif. Hindari kebijakan "setengah hati" yang kurang terarah. Kebijakan seperti ini mengesankan bahwa Presiden Yudhoyono tidak independen dalam menentukan putusan - karena terikat kontrak dengan partai-partai politik.***(Sijorimandiri)

Inflasi dan Suku Bunga


Prediksi pemerintah dalam menentukan angka inflasi beberapa kali meleset - tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Karena itu, prediksi pemerintah tidak dapat dijadikan patokan pasar. Meski begitu, pemerintah selalu menyatakan optimis mengenai angka inflasi ini.
Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Oktober inflasi mencapai 15,75%. Di sisi lain, pemerintah yakin bahwa angka inflasi akhir tidak lebih dari 12% - dan akan menurun menjadi deflasi setelah Lebaran. Pemerintah lebih banyak memperhitungkan angka inflasi dengan menggunakan angka-angka makro ekonomi - dan semuanya dianggap tetap (ceteris paribus), tanpa mempertimbangkan distorsi pasar dan kondisi di lapangan.
Misalnya, ketika pemerintah baru mengumumkan waktu dan jumlah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), ternyata di di lapangan harga sudah lebih dulu melambung. Pedagang beralasan, itu karena pasokan BBM terbatas dan mengalami kelangkaan. Tapi setelah harga BBM naik pun, kelangkaan BBM masih saja terus berlangsung, sehingga harga aneka kebutuhan pokok melonjak. Ini menjadi pemicu meroketnya inflasi pada Oktober lalu.
Prediksi pemerintah bahwa setelah Lebaran terjadi deflasi juga meleset - karena sampai akhir November kemarin inflasi belum juga turun. Bahkan diprediksi, inflasi sampai akhir tahun ini lebih tinggi lagi: mencapai 17-18 persen.
Tingginya inflasi telah direspons Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan suku bunga sampai dua kali: dari 10% menjadi 11%, kemudian naik lagi menjadi 12,25%. Kenaikan tersebut direspons juga oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga simpanan maupun kredit.
Dalam konteks itu, BI tidak menaikkan suku bunga sampai di atas angka inflasi. BI sangat berhati-hati mengenai kemungkinan munculnya akibat lain, yaitu memburuknya kinerja bank yang juga bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, pengetatan moneter yang dilakukan BI bukan disebabkan oleh sisi permintaan, melainkan karena kebijakan pemerintah.
Sampai akhir tahun 2005, perbankan nasional memang tidak mengalami penurunan kinerja secara signifikan. Secara keseluruhan, selama Januari-Agustus, hampir sebagian besar bank telah mencapai target usaha. Tetapi tahun depan, sampai semester I, diperkirakan perbankan nasional mengalami penurunan kinerja karena ekspansi kredit melorot. Bahkan sangat mungkin mereka kian dibebani masalah kredit macet hingga di atas 5%. Karena itu, BI perlu meninjau kembali efektivitas kenaikan suku bunga dalam rangka merespons inflasi ini. Data statistik BI sendiri menunjukkan, kenaikan suku bunga ternyata hanya membuat pertumbuhan dana pihak ketiga di perbankan sebesar 0,7%.
(Indonesia Media Online)

Menimbang Nasib BUMN PSO



Masyarakat belum banyak yang mengetahui bahwa sesungguhnya terdapat beberapa barang dan jasa yang masih disubsidi pemerintah. Lembaga yang memberikan pelayanan dengan subsidi ini adalah BUMN yang ditunjuk pemerintah, yaitu PT Askes, PT Pelni, PT Angkasa Pura, Perum Damri, Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD), PT Pelindo, PT Pusri, PT TVRI, PT Merpati, PT ASDP, PT PLN, PT Kereta Api, PT Pos Indonesia, PT Sang Hyang Seri, PT Jasa Tirta, PT Pertamina, Perum Bulog, dan Perum Perumnas.
Dasar pemberian subsidi adalah UUD 1945, khususnya Pasal 34 ayat 3, yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak bagi masyarakat. Pasal ini sebagai penawar mekanisme pasar dalam kehidupan ekonomi, sehingga diharapkan pengaturan ekonomi bisa lebih merata dan tumbuh tinggi.
Dalam implementasinya, UUD 1945 didukung UU Nomor 19/2003 tentang BUMN. Pasal 66 UU Nomor 19/2003 menyatakan bahwa bagi BUMN yang mendapat tugas mengemban kewajiban pelayanan umum (public service obligation/PSO), bila menurut kajian finansial tidak fisibel, pemerintah wajib memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut -- termasuk margin keuntungan yang diharapkan.
UU Nomor 19/2003 diperjelas dengan PP Nomor 45/2005 pasal 65. Di situ dinyatakan bahwa fungsi kemanfaatan umum salah satu penugasan yang diberikan pemerintah dalam rangka PSO adalah menyediakan barang dan jasa tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat luas.
Untuk melayani kebutuhan masyarakat, Kementerian BUMN telah menetapkan 19 BUMN sebagai badan usaha yang membawa misi PSO. Meski disubsidi untuk menjaga kelanggengan usaha, BUMN PSO tetap wajib dikelola dengan baik berdasarkan prinsip korporasi atau bisnis yang sehat dan bertanggung jawab (GCG). Dengan demikian, penerapan profesionalisme, system reward and punishment seperti di perusahaan-perusahaan umumnya harus dijalankan.
Tetapi bila kita amati, kinerja BUMN yang mengemban PSO belum semuanya baik. Bahkan citra yang berkembang di masyarakat, BUMN PSO identik dengan inefisiensi dan sarang korupsi oleh pengelola maupun politisi dan birokrat. Apalagi banyak direksi BUMN yang berurusan dengan hukum tersangkut kasus korupsi.
Citra buram itu sangat wajar karena selama ini masyarakat tidak memperoleh gambaran transparan mengenai harga pokok sesungguhnya barang dan jasa yang dihasilkan BUMN PSO ini. Tapi dengan itu pula, masyarakat tidak peduli dengan besarnya subsidi yang ditanggung negara. Dalam kaitan ini, masyarakat beranggapan bahwa mereka berhak menikmati subsidi yang melekat pada barang dan jasa BUMN PSO karena mereka sudah membayar pajak. Padahal, bila diteropong, dana sebesar Rp 100 triliun hanya untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Sedangkan untuk kesehatan, pendidikan, dan barang publik lain hanya mendapat subsidi relatif rendah.
Memang tidak mudah mengelola BUMN PSO karena relatif rawan moral hazard, baik dari sisi pengguna barang dan jasa maupun perilaku kurang kreatif dan inovatif pengelola usaha. Di sisi pengelola usaha, mereka kurang berhati-hati sehingga terjadi inefisiensi biaya operasional. Sementara di sisi pengguna barang dan jasa, mereka juga kurang hemat dalam memanfaatkan subsidi.
Misalnya saja PLN. Karena masih disubsidi, pengguna listrik berhemat-hemat cenderung rendah. Padahal subsidi listrik dalam APBN mencapai sekitar Rp 40 triliun. Dalam konteks ini, pengelola PLN beranggapan bahwa karena selisih harga jual dan harga pokok listrik disubsidi, kemungkinan besar pengeluaran perusahaan menjadi kurang efisien.
Kondisi lain: BUMN yang memperoleh subsidi cenderung menjual barang dengan tidak tepat sasaran, sehingga mereka yang menikmati subsidi adalah kalangan menengah atas. Misalnya subsidi perumahan rakyat (perumnas). Mereka yang menikmati subsidi seharusnya masyarakat berpenghasilan rendah. Namun kenyataannya, subsidi perumnas justru dinikmati kalangan menengah atas. Walhasil, subsidi perumnas tidak tepat sasaran.
PT Kereta Api (PTKA) bisa menjadi contoh BUMN yang tidak kreatif. Karena ongkos pesawat sekarang ini relatif murah, pengguna jasa kereta api banyak beralih menjadi penumpang pesawat. Terkait dengan itu, PTKA seharusnya melakukan perubahan. Jika semula orientasi usaha mereka adalah penumpang luar kota, seharusnya sekarang mereka berubah menjadi penyelenggara jasa transportasi antarkota.
Mengamati kondisi APBN yang semakin sulit menyediakan subsidi, diperlukan prioritas BUMN PSO yang memperoleh subsidi. Untuk itu perlu beberapa langkah. Pertama, repositioning BUMN PSO dengan memperhitungkan multiplier effect ekonomi bagi masyarakat. Bila multiplier effect bagi masyarakat ternyata rendah, tidak perlu BUMN tersebut menjalankan fungsi PSO bersubsidi.
Kedua, bila berbentuk perseroan terbatas (PT), BUMN PSO harus menghasilkan profit atau keuntungan. Karena itu perlu dibentuk pusat unit bisnis (CBU) yang komersial dan CBU yang tidak komersial. Dengan demikian, SBU komersial dapat mensubsidi SBU yang tidak komersial. Dalam kaitan ini, pihak pengelola dituntut inovatif, kreatif, serta memiliki jiwa wirausaha
Ketiga, bila PSO dalam bentuk atau jenis usaha lain, lebih baik itu dijadikan cost centre. Dengan demikian, fungsi BUMN bersangkutan lebih jelas: hanya sosial.
Liat saja BUMN PSO seperti PPD yang mengalami kesulitan likuiditas dan menimbulkan berbagai masalah. Itu bisa jadi diikuti oleh BUMN PSO lain. Karena itu, repositioning BUMN harus dilakukan lewat pembentukan induk perusahaan (holding) berdasarkan sektor. Misalnya sektor transportasi darat, yang terdiri dari Perum Damri, PPD, dan PTKA. Lalu holding transportasi laut, yang terdiri dari PT Pelni, PT Pelindo, dan sebagainya.
Dengan holding berdasarkan konsep hulu-hilir maupun produk sejenis, nasib BUMN PSO dapat diselamatkan. Dengan itu pula, beban APBN bisa dikurangi. Yang penting, keberadaan BUMN PSO tetap mampu dipertahankan dan bermanfaat bagi masyarakat.*** (Suara Karya, 16 Agustus 2006)

Merger BNI Dan Bank Permata


Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 17 Mei 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi, tujuan merger adalah untuk menciptakan perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Dengan merger, sumberdaya manusia pengelola bank diharapkan lebih profesional sehingga mampu bersaing di era globalisasi.

Merger mulai populer sejak 1997. Ketika itu terjadi 43 bank yang melakukan merger. Bank Indonesia telah mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 1998 tentang persyaratan modal disetor pendirian bank baru sebesar Rp 3 triliun dan bank yang telah beroperasi sebesar Rp 1 triliun pada akhir 1998. Peraturan BI tersebut menyebabkan kalangan perbankan kalang-kabut dalam memenuhi ketentuan yang berlaku. Bank-bank yang sejalan membentuk kelompok-kelompok tertentu yang semua mengarah pada merger.

Kini Bank BNI meminang Bank Permata. Bank BNI memilih Bank Permata karena kinerja dan kesehatan bank tersebut dinilai baik. Dengan merger, paling tidak ada dua keuntungan yang diharapkan. Pertama, pembayaran bunga obligasi pemerintah bisa dikurangi dengan cara menukar saham Bank Permata dengan obligasi rekap Bank BNI. Kedua, akan tercipta sinergi bisnis yang bagus jika saham dijual setelah merger. Selain itu, biaya divestasi yang dikeluarkan juga lebih bisa dihemat.

Merger merupakan bagian restrukturisasi perbankan yang bertujuan agar Indonesia mempunyai bank yang kuat dan sehat. Namun demikian, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan merger sebaiknya mempertimbangkan berbagai aspek. Jangan sampai merger Bank Mandiri dan Bank Danamon yang ternyata berdampak negatif terhadap likuiditasnya terulang lagi pada merger antara Bank BNI dan Bank Permata.

Berbagai aspek itu, pertama, merger harus dilakukan sukarela, tanpa tekanan pemilik dan manajemen masing-masing bank. Kedua, antara kedua bank harus mempunyai visi dan misi yang sama agar setelah merger bank dapat bersinergi dalam melakukan operasi tanpa ada pihak yang diprioritaskan kepentingannya hingga potensial membahayakan kelangsungan usaha bank.

Ketiga, agar bank hasil merger dapat menumbuhkan sinergi yang signifikan, masing-masing bank harus mempunyai kekuatan dan kelemahan yang berbeda. Dalam hal ini, terdapat area sinergi, yaitu sinergi bisnis, sinergi infrastuktur, dan sinergi kapabilitas organisasi. Sinergi bisnis, artinya bank yang mempunyai kekuatan. Misalnya dari segi penghimpunan dana pihak ketiga, sehingga akan meningkatkan fungsi intermediasi perbankan. Sinergi infastruktur, artinya bank yang mempunyai kekuatan dalam segi teknologi dimerger dengan bank yang lemah teknologinya. Sinergi kapabilitas organisasi, artinya bank yang mempunyai kekuatan segi manajemen risiko. Keempat, bank sebelum merger harus dalam keadaan sehat. Jika merger dipaksakan antara bank yang tidak sehat yang mempunyai visi dan permasalahan yang berbeda, sedang kekuatan dan kelemahannya sama, maka ini sulit diharapkan berhasil.

Tujuan merger antara Bank BNI dan Bank Permata antara lain adalah untuk mengurangi beban bunga obligasi pemerintah di kedua bank. Sebenarnya, ada alternatif lain untuk mengatasi permasalahan obligasi rekapitalisasi perbankan sebagaimana disampaikan oleh tim pengkaji Bappenas. Pertama, penukaran obligasi dengan aset. Syaratnya, jumlah obligasi rekap yang dimiliki harus berbanding lurus dengan besarnya kredit yang dialihkan. Cara seperti ini sudah dilakukan pemerintah melalui BPPN, walau dengan hasil yang tidak memuaskan.

Kedua, penyesuaian CAR. Bank bersangkutan dapat mengurangi modal ekuitas dengan cara mengembalikan obligasi rekap yang dimilikinya kepada pemerintah. Tetapi langkah ini tetap harus memperhatikan aspek rentabilitas dan likuiditas.

Ketiga, konversi obligasi rekap menjadi perpetual bonds. Keempat, akuisisi antarbank rekap. Kelima, pengumpulan obligasi rekap dalam satu bank.

Kesimpulannya, bila Bank BNI dan Bank Permata memutuskan merger, itu harus benar-benar mampu menumbuhkan sinergi untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Dengan begitu, tercipta perbankan yang sehat, efisien, tangguh, dan mampu bersaing dengan bank asing. (Suara Karya)***

Kredibilitas BI vs Pemberantasan Korupsi


Bank Indonesia (BI) telah berubah status sejak disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang independensi BI. Undang- undang tersebut mengatur dan memberi kewenangan BI untuk menjadi lembaga yang independen, terutama dalam mengeluarkan kebijakan untuk menjaga stabilitas moneter, nilai tukar maupun pengawasan perbankan.

Implementasi UU tersebut sekaligus untuk menutup peristiwa buruk dalam sejarah BI, terutama setelah muncul kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan banyak pejabat BI. Setelah BI menjadi lembaga independen, kredibilitas BI mulai pulih karena kebijakan-kebijakan menjaga stabilitas moneter dan nilai tukar dapat berjalan dengan baik.

Kondisi itu tecermin dengan stabilitas nilai tukar yang terjaga dari waktu ke waktu, terutama nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang bergerak relatif stabil. Demikian pula halnya dengan kebijakan di bidang perbankan yang lebih menekankan prinsip kehatihatian. Kondisi tersebut dapat tecermin dari kepatuhan bank-bank dalam menjalankan peraturan BI sehingga kinerja perbankan mengalami peningkatan yang jauh lebih baik.

Bahkan harus diakui keadaan tersebut mampu meningkatkan nilai sahamsaham perbankan di pasar. Dalam pengawasan bank pun BI telah mengubah sistemnya jauh lebih baik, bahkan sebagian telah mengikuti standar internasional.Hal ini dapat terlihat dari semakin berkurangnya kasus-kasus di sektor perbankan, khususnya terkait dengan penyaluran kredit maupun penyalahgunaan dana perbankan.

Hal lain yang juga menunjukkan adanya perbaikan adalah semakin banyaknya investor asing yang tertarik untuk mengambil alih kepemilikan bank nasional. Setelah tujuh tahun perjalanan BI menjadi independen,tidak ada masalah berarti yang mengganggu kredibilitas BI. Bahkan di masa kepemimpinan Burhanuddin Abdullah berbagai kebijakan yang dikeluarkan diterima pelaku pasar sehingga tidak banyak gejolak yang terjadi.

Akan tetapi, menjelang selesainya masa tugas Gubernur BI, tiba-tiba semua pihak dikejutkan dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan kasus aliran dana BI melalui Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar.Menurut catatan,aliran dana tersebut digunakan untuk membantu proses hukum mantan pejabat BI yang terlibat kasus BLBI dan sebagian lagi digunakan untuk anggota DPR berkaitan dengan biaya proses pengesahan UU Independensi BI.

Memang cukup menarik disimak karena terkuaknya kasus tersebut menjelang pencalonan Gubernur BI baru. Pertanyaannya, mengapa terkuaknya hal tersebut bukan pada saat indikasi telah diketahui, tetapi secara bersamaan dan berkaitan dengan peristiwaperistiwa politik penting lain? Sejak mencuatnya kasus tersebut, kredibilitas BI mulai terganggu kembali walaupun secara kinerja mungkin tidak bisa diklaim memburuk, hanya secara institusi tampaknya cukup terganggu.

Hal tersebut tecermin pada saat pencalonan Gubernur BI baru sebagai pengganti Burhanudin Abdullah, tidak satu pun calon berasal dari dalam, termasuk deputi gubernurnya yang tentu lebih memiliki kompetensi. Seolah-olah orang-orang di dalam institusi tersebut tidak lagi kredibel untuk menjadi orang nomor satu di BI.

*** Menilik permasalahan tersebut, memang KPK harus berhati-hati di dalam menangani kasus-kasus korupsi karena jangan sampai kredibilitas dari institusi negara terganggu yang tentu akan memengaruhi kinerja instansi tersebut. Dalam hal ini penulis sangat mendukung pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK maupun kejaksaan karena dalam jangka menengah panjang akan mampu memperbaiki kinerja ekonomi,karena persoalan korupsi yang terjadi pada tingkat birokrasi, legislatif maupun yudikatif dapat dikurangi sehingga masyarakat maupun dunia usaha diuntungkan.

Harus diakui, selama puluhan tahun belum ada kekuatan pemberantasan korupsi sekuat KPK. Akan tetapi dalam melakukan pemberantasan harus mempertimbangkan dampaknya bagi institusi tersebut, terutama terkait dengan aspek kebijakan yang diambil. Di sisi lain, yang perlu disadari,masa lalu di negara ini tidak lepas dari masalah korupsi yang membudaya s e h i n g g a ada kemungkinan apa pun instansi yang disentuh dipastikan ada masalah korupsi.

Masalahnya apakah kita hanya berkutat pada masa lalu tanpa ada batas waktu? Korupsi akan mampu dikurangi apabila sistem, mekanisme kerja maupun etika dapat dibangun lebih baik oleh negara ini, baik di tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif maupun masyarakat dan dunia usaha.

Selain itu, reward bagi mereka juga perlu dijadikan prasyarat karena tidak mungkin pemberantasan korupsi berhasil bila tidak disertai berbagai prasyarat sehingga KPK perlu lebih memikirkan langkahlangkah pencegahan lebih dini dibandingkan hanya menangkap dan menjadikan tersangka akibat dosadosa masa lalu.

Selain itu, tampaknya KPK akan turut campur tangan dalam proses keputusan di tingkat eksekutif karena ada wacana untuk turut rapat anggaran bersama DPR.Seolah-olah tidak ada lagi unsur kepercayaan kepada pemerintah maupun lembaga legislatif.

Tampaknya krisis kepercayaan bukan hanya terjadi pada masyarakat, tetapi antarpejabat negara pun sudah terjadi. Pertanyaan mendasar, akan dibawa ke manakah negara ini apalagi semua stakeholder tidak saling percaya? (*)

Kamis, 29 Januari 2009

Lahan Para Pemikir yang Semakin Terkikis


Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar tentang lembaga penelitian seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef), Center for Information and Development Studies (Cides)? Pastilah langsung terbayang sejumlah peneliti berotak encer yang menghasilkan kajian mendalam tentang suatu hal.

Para peneliti dari lembaga-lembaga tadi, seperti Aviliani, Faisal Basri, Chatib Basri, atau Indra Piliang, bisa jadi sudah akrab dengan kuping kita.

Tapi, bagaimana lembaga penelitian menjalani bisnis mereka? Belakangan, hal ini menjadi heboh karena dipicu paparan peneliti Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan Universitas Indonesia, atas permintaan Asian Agri, untuk mengkaji berita Majalah Tempo.

Tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan antara lembaga penelitian seperti ini memang cukup sengit. “Belakangan ini lembaga penelitian sudah banyak dan lebih segmented,” kata Pande Radja Silalahi, anggota Badan Supervisi CSIS Foundation.

Adapun Aviliani, ekonom Indef yang juga mengurus lembaga tersebut, bilang bahwa banyak lembaga penelitian yang didirikan dengan orientasi bisnis. “Tujuannya memang cari uang. Beda dengan Indef yang tujuan awalnya untuk advokasi,” katanya.

Itu sebabnya, Aviliani mengaku bahwa Indef tidak bisa sembarang mencari proyek karena terbentur dengan idealisme lembaga. “Kalau dibayar, kan kami harus mengikuti kemauan si pemberi dana,” tukasnya lagi. Alhasil, menurut Aviliani, persaingan bisnis lembaga think tank sekarang tampak sengit lantaran mereka berebut sumber dana.

Aviliani bilang, idealisme yang mereka anut telah membatasi pencarian proyek. Jika pun harus mencari proyek untuk bisa bertahan, kata dia, mereka akan lebih dulu menjajaki apakah perusahaan itu punya maksud tertentu. “Kemauan mereka benar enggak di mata publik,” katanya.

Kena tulah keppres

Sedikit berbeda dengan Indef, menurut Chatib Basri, Direktur LPEM FE Universitas Indonesia, lembaga mereka banyak kena tulah Keppres Nomor 80/2003 tentang tender pemerintah. Salah satu klausulnya memang mengatur bahwa penyedia barang atau jasa bukan dari kalangan pegawai negeri atau BUMN dan badan hukum milik negara (BHMN). Dampaknya, LPEM yang berinduk pada UI, yang berstatus BHMN itu, tidak bisa ikut dalam tender proyek pemerintah. “Ada yang bilang, karena banyak orang UI di pemerintahan jadi proyek kami lancar. Padahal, justru enggak seperti itu!” ungkap Chatib lagi.

Itu sebabnya, sejak aturan tersebut diterapkan, LPEM UI tidak pernah menggarap proyek dari pemerintah. “Bukan kami enggak mau proyeknya, tapi prosesnya kan repot,” kata Dede, panggilan akrab Chatib.

Banting setir dari proyek pemerintah, LPEM UI banyak ikut tender dari lembaga nonpemerintah. “Pangsa pasar terbesar kami adalah institusi internasional atau perusahaan swasta,” ujar Dede.

Konsekuensinya, tutur Dede, mereka harus mengubah penyampaian hasil penelitian. “Kalau dulu bisa bikin kayak skripsi, sekarang klien minta yang lebih bisa diaplikasikan,” katanya.

Selain ikut bersaing berebut proyek, LPEM UI juga punya kerjasama akademik dengan beberapa lembaga. “Misalnya, kami punya kerjasama dengan National Bureau of Economic Research di Amerika yang sampai kini masih berlangsung,” kata Dede.

Sampai kini LPEM UI masih punya proyek penelitian. Sayang, Dede enggan menyebut nilai proyek dan margin yang mereka ambil dari situ. “Kami punya patokan dari rate standar peneliti kami. Itu enggak bisa diubah,” ujar Dede.

Hanya, mereka tidak pernah memberi patokan harga proyek, katakanlah Rp 1 miliar per proyek. “Rp 1 miliar itu gede kalau untuk penelitian. Pokoknya jangan sampai enggak cukup buat ongkos. Gitu aja,” kilah Dede yang dibantu 135 orang untuk menggerakkan LPEM UI.

Adapun Aviliani mengatakan bahwa saban tahun Indef hanya mengerjakan minimal empat proyek penelitian. Duit dari proyek itu, menurut Aviliani, cukup untuk menutup ongkos karyawan administrasi Indef. “Kalau peneliti dibayar per proyek,” katanya.

Aviliani juga menolak mengungkap margin yang bisa mereka peroleh dari proyek penelitian ini. “Laba kami sedikit sekali dibanding dengan lembaga yang memang mencari untung,” kilahnya.

Pande tidak bisa memastikan berapa proyek penelitian yang digarap CSIS per tahun. “Tiap proyek punya jangka waktu sendiri,” katanya. Nilai proyeknya pun beragam, menurut Pande, dari hitungan ratusan juta sampai miliaran rupiah untuk satu proyek saja.

Mengakali pembayaran

Berapa pun nilai proyeknya, Pande bilang, harus bisa menutup ongkos penelitian. Tapi, “Peneliti memang harus concern pada penelitiannya, tanpa campur tangan pihak lain,” katanya. Saat ini, CSIS memiliki 120 karyawan dan sekitar 50 peneliti.

Selain menggaji karyawan, menurut Pande, pihaknya juga mengirim para peneliti untuk sekolah lagi di luar negeri. “Dananya dari jaringan kami,” katanya.

Sama seperti jenis bisnis lain, lembaga penelitian juga sering mengalami kesulitan dalam hal pembayaran. Dede bilang, kerap terjadi, antara pihaknya dan klien sudah sepakat tanggal pembayaran. “Tapi, kalau masih enggak sepakat dengan klien, ya, tanggalnya bisa mundur. Proses pembayaran jadi panjang,” ujarnya. Meskipun, kata Dede, sampai kini belum pernah ada klien yang mengemplang pada LPEM UI.

Hal serupa dikatakan oleh Aviliani. “Sulitnya, untuk proyek begini, pembayarannya selalu dalam termin,” ujarnya. Buntutnya, mereka harus pintar mengatur duit yang ada untuk operasional.

Siasati Krisis dengan Penempatan TKI Skill


(Jakarta, BNP2TKI) Krisis keuangan dunia yang imbasnya juga masuk ke negara-negara peneriman TKI seperti Indonesia, Filipina dan Vietman, menurut pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani tidak begitu berpengaruh terhadap pengiriman buruh migran.

Untuk mengetahui lebih jauh pengaruh krisis keuangan dunia terhadap masa depan penempatan TKI berikut wawancara BNP2TKI.go.id dengan Aviliani, seusai mengikuti acara dialog yang juga dihadiri Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat, di Metro TV, Kamis (30/10).

Seberapa jauh krisis keuangan dunia berdampak pada pengiriman TKI ke luar negeri?
Saya melihat krisis ini tidak akan mengurangi permintaan akan tenaga kerja dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Yang banyak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) kan dari sektor finansial. Sedang sektor non finansial masih butuh tenaga kerja skill, dan saya perkirakan untuk sektor ini permintaan dunia kian meningkat.

Kalau begitu, menurut Anda, bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi hal ini?
Pemerintah harus mengirim TKI Skill sebanyak-banyaknya. Karena TKI Unskill daya tawarnya rendah, bermasalah di tempat kerja, dan mereka jadi lahan eksploitasi. Jadi kurangi unskill labour. Tingkatkan pengiriman TKI Skill.

Adakah dampak krisis ini di negara penerima TKI?
Asia dan Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab tidak terkena dampak krisis yang berarti. Yang parah kan Eropa dan Amerika, di sana tenaga kerja kita tidak terlalu banyak. Jadi pengaruh pengiriman TKI di negara-negara penerima, khususnya Asia Pasific dan Timur Tengah, sangat kecil. Kita tidak usah khawatir akan ada pemulangan TKI secara besar-besaran.

Dengan kata lain fokus pengiriman TKI kita lebih baik diarahkan ke Asia?
Betul. Pertumbuhan Asia akan lebih tinggi ketimbang Eropa dan Amerika, Mereka sudah stagnan.

Jadi kita lupakan Eropa dan Amerika?
Bukan begitu. Justru pemerintah jangan terlena dengan kondisi sekarang ini. Pemerintah harus menyiapkan rencana untuk mengirimkan perawat-perawat ke Eropa dan Amerika. Soalnya tahun 2030 akan ada banyak booming the long age (usia panjang umur) yang memerlukan perawat. Dari sekarang perencanaan itu harus disipkan agar kita bisa mengirim perawat sebanyak-banyaknya.

Besarnya jasa TKI kepada negara, apakah berimbang dengan perhatian pemerintah terhadap TKI?
Nah, soal ini masih kurang. Pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan TKI, khususnya TKI purna. Apalagi sekarang pemerintah banyak mengeluarkan program pendanaan seperti PNPM, dan lain-lainnya. Jadi mereka harus diberi pelatihan dan pendidikan tentang kewirausahaan. (zul)

BBM Turun Tanpa Subsidi Jadi Beban Politik


JAKARTA - Pengamat ekonomi Indef Aviliani mengungkapkan fix subsidi merupakan solusi yang tepat dalam situasi sekarang ini. Sehingga harga bahan bakar minyak (BBM) akan mengikuti harga keekonomiannya seperti yang ditegaskan oleh Departemen Keuangan (Depkeu).

"Naik atau turunnya harga BBM sesuai dengan harga minyak mentah itu penting. Tapi jika tanpa subsidi sama sekali, maka beban politik pemerintah akan berat, yakni akan terjadi penolakan oleh masyarakat," ujar Aviliani, saat ditemui okezone, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (19/11/2008).

Gelombang PHK Januari-Maret 2009


JAKARTA, RABU — Pengamat ekonomi, Aviliani, memprediksikan, gelombang PHK akan terjadi pada Januari hingga Maret 2009. Alasannya, pada periode tersebut banyak kontrak ekspor yang selesai, seperti di sektor garmen dan industri sepatu. Oleh karena itu, ia mengingatkan agar gejolak tersebut bisa diantisipasi pada 2009.

"Justru saat ini sebenarnya dari awal krisis sampai sekarang, ekonomi Indonesia normal. Tahun 2009 yang harus diantisipasi, bulan Januari sampai Maret 2009 banyak kontrak yang selesai, misalnya kontrak ekspor garmen dan sepatu. Gelombang PHK kemungkinan pada bulan-bulan itu," kata Aviliani saat dihubungi Kompas.com, Rabu (3/12).

Modal Ventura untuk UKM Tidak Efektif


Aviliani menilai usulan Bappenas mengajukan sistem permodalan ventura untuk membiayai UMKM tidak akan berjalan efektif. Pasalnya sistem permodalan ventura memerlukan effort dan SDM yang lebih besar untuk melakukan monitoring.
"Dengan ventura itu kontraknya panjang, 10-15 tahun. Yang berat itu monitoringnya karena kita harus menempatkan orang di tiap UKM yang diberi modal ventura." ujar Aviliani.

Menurut Aviliani, sebenarnya sistem ventura merupakan sistem yang bagus. Namun, mengigat waktunya yang panjang maka dana yang dibutuhkan juga besar."Ini harus didukung pendanaan dari dana pensiun atau asuransi" katanya.

"Tapi tetap saja investasinya tidak cocok dengan hasilnya" tambah Aviliani.

Aviliani justru menganjurkan, daripada mendukung UKM dengan permodalan ventura lebih baik pemerintah mengadopsi sistem syariah.

Sebelumya Bappenas berencana mengajukan anggaran modal ventura dalam APBN 2008 sebesar Rp5-7 triliun untuk menggerakan sektor riil, setelah sektor riil diperkirakan mandeg pasca BI melakukan kebijakan uang ketat untuk mengendalikan inflasi. (Adi/IOT-03)

Peran Investor Domestik


Di tengah kesulitan ekonomi nasional yang ditandai dengan tingginya angka
kemiskinan, rendahnya investasi di sektor riil, tidak berjalannya proyek
infrastruktur yang telah menjadi rencana pemerintah, dan keluhan banyak
pengusaha dalam menjalankan usaha, dunia internasional justru memberikan
penghargaan kepada Menteri Keuangan.

Selain itu, hasil survei World Economic Forum (WEP) juga sangat mengejutkan
banyak pihak karena menunjukkan bahwa daya saing Indonesia meningkat
signifikan, yaitu menduduki peringkat 50 dari 125 negara, sedangkan tahun
sebelumnya menduduki peringkat 69 dari 107 negara.

Kondisi di lapangan tidak sesuai dengan hasil survei itu. Kemungkinan bukan
daya saing Indonesia yang meningkat, tetapi negara-negara lain yang sebelumnya
di atas Indonesia mengalami penurunan daya saing. Itu yang membuat posisi
Indonesia seolah-olah jadi lebih tinggi.

Apa pun peringkat yang diberikan lembaga internasional kepada Indonesia,
sayangnya belum menjadi pedoman investor untuk menempatkan dana mereka di
Indonesia, khususnya investasi jangka panjang atau sektor riil. Selama krisis
hingga saat ini, investor asing lebih tertarik menanamkan dana pada instrumen
investasi jangka pendek di pasar uang maupun pasar modal.

Ini tercermin dari besarnya aliran dana masuk serta tingginya indeks harga
saham gabungan (IHSG) yang kurang berkorelasi dengan banyaknya perusahaan baru
yang go public. Itu berarti bahwa pasar sekunder lebih marak dibanding pasar
primer.

Kondisi tersebut tidak akan mampu memperbaiki pertumbuhan ekonomi secara
berkualitas. Bahkan sektor riil yang bertahan tidak akan mampu mengantisipasi
kondisi pasar terkait nilai tukar (sulit diprediksi tingkat kestabilannya).
Daya saing sulit dipertahankan karena sebagian besar negara melakukan berbagai
efisiensi yang membutuhkan kepedulian pemerintah dalam kebijakan maupun
perilaku birokrasi.

Investor asing masih menjadi kebanggaan pemerintah untuk menumbuhkan ekonomi
Indonesia, sehingga semua pejabat sibuk berkunjung ke luar negeri untuk mencari
berbagai cara menarik minat investor. Sayangnya penawaran kepada investor asing
tidak disertai dengan berbagai tawaran konkret, bahkan pada tingkat
implementasinya Indonesia sendiri belum siap.

Apalagi investor asing tidak menguasai dan mengetahui kondisi Indonesia secara
utuh. Mungkin yang mereka kenal hanya Bali. Untuk menarik minat investor asing
mungkin masih membutuhkan waktu cukup lama, selain masalah keyakinan yang belum
tercipta di benak investor asing. Masalah lain yang menjadi indikator investor
asing adalah investor domestik.

Selama ini investor asing melihat bahwa investor domestik Indonesia justru
banyak yang menempatkan investasi di luar negeri. Itu berarti bahwa Indonesia
masih berisiko untuk investasi.

Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerintah seharusnya lebih banyak
berorientasi pada pengembalian dana investor domestik yang sejak krisis ekonomi
tahun 1998 banyak mengalir keluar ke negara-negara yang dianggap lebih aman.

Saat ini mereka belum banyak yang mengembalikan dana ke Indonesia untuk
investasi. Selain berbagai masalah politik yang dianggap sangat berperan dalam
ekonomi Indonesia, juga masalah korupsi yang sedang banyak digarap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lembaga lain.
Karena itu, ketakutan mereka justru dana tidak aman bila kembali ke Indonesia.

Perlu dipikirkan cut off atas persoalan yang banyak menyangkut kebijakan dan
fasilitas pemerintah di masa lalu, khususnya bagi pengusaha. Bila pemerintah
memaksakan memburu harta koruptor dan pengusaha terus-menerus, itu belum tentu
mampu dicapai. Bahkan yang terjadi biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada
tingkat pengembaliannya.

Yang lebih ironis adalah rakyat justru tambah miskin, dan karena pemerintah
dianggap salah dalam memberikan solusi. Bahkan dari hasil survei, rakyat miskin
tidak peduli dengan pemberantasan korupsi. Yang penting mereka dapat pekerjaan
dan hidup layak. Sedangkan yang lebih peduli terhadap pemberantasan korupsi
adalah kaum elite.

Yang menarik dari banyak kasus korupsi yang diangkat lebih banyak digunakan
sebagai alat pembunuhan karakter, atau mencari kesalahan untuk menjegal lawan
di tingkat politik maupun akademis. Lihat saja ketika akan dilakukan pemilihan
kepala daerah, maka mulai diusik masa lalu terkait dengan korupsi calon yang
lain. Contoh lain seorang akademisi baru diusik masalah dugaan korupsi, karena
yang bersangkut menjadi calon hakim agung.

Bila pemerintah ingin melakukan perubahan mendasar di sektor ekonomi riil,
diperlukan upaya untuk mengubah pola pemikiran dari yang berorientasi hanya
pada investor asing semata ke investor domestik.

Pertama, mereka lebih mengetahui kondisi di Indonesia sehingga lebih memudahkan
dalam mengendalikan perekonomian. Kedua, mereka peduli dengan kondisi negara
sehingga pembayaran pajak jadi lebih besar. Banyak bukti menunjukkan,
pembayaran pajak investor asing yang membeli BUMN atau melakukan usaha di
Indonesia justru menurun dengan berbagai alasan terkait investasi.

Ketiga, penciptaan lapangan kerja jadi lebih besar, karena lebih banyak
menggunakan tenaga ahli dari Indonesia, bukan tenaga asing.

Untuk mengatasi itu, pemerintah perlu melakukan tax amnesty bagi investor
domestik. Sebaiknya soal ini masuk RUU Perpajakan. Lalu pemerintah
mengakomodasi kepentingan investor domestik dengan berbagai kebijakan agar daya
saing nasional meningkat. Kebijakan selama ini hanya bersifat parsial dan
kurang memperhatikan kebutuhan dunia usaha.

Di sisi lain, merevisi RUU Penanaman Modal yang bersifat sangat liberal, tidak
membedakan investor asing dan domestik. Walaupun negara lain mengklaim mereka
liberal, lihat kebijakan ekonomi mereka, tetap menomorsatukan perusahaan
domestik.

Sektor-sektor yang diperbolehkan untuk investor asing dan domestik harus
dieksplisitkan. Ini beralasan karena dalam RUU Penanaman Modal semua sektor
boleh dimasuki oleh asing maupun domestik.

Dengan mengubah strategi, kemungkinan pemerintah mampu cepat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan menurunkan pengangguran. (Suara Karya, Rabu, 27 September 2006)

Rabu, 28 Januari 2009

Investasi Langsung 2009 Bakal Turun

INILAH.COM, Jakarta - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menilai investasi asing langsung (FDI) pada tahun 2009 bakal menurun, seiring dengan perkembangan politik di tanah air.

"Pertumbuhan FDI akan tertahan karena investor asing akan melihat hasil Pemilu 2009. Investor juga melihat kepastian investasi bagi dunia usaha pada tahun depan," katanya di Jakarta, Jumat (26/12).

Aviliani menjelaskan, tahun 2009 merupakan tahun politik terkait pesta demokrasi pemilihan legislatif pada April 2009, dan September 2009 pemilihan kepala negara yang selanjutnya penetapan susunan kabinet.

Sebelumnya, Kepala Badan Penanaman Pasar Modal (BKPM), Muhammad Lutfi, memperkirakan pertumbuhan investasi pada 2009 hanya akan berkisar 10,7-11,2 persen, lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2008 yang diperkirakan pemerintah tumbuh sebesar 15%.

Meski menurun, namun pertumbuhan investasi pada 2009 masih pada level dua digit, menyusul krisis keuangan global yang juga mulai mempengaruhi ekonomi sejumlah negara.

Menurut Aviliani, dampak krisis keuangan global pada tahun 2009 mulai terasa pada kuartal II yang mengakibatkan investasi di sektor riil sedikit melambat.

Investasi di sektor riil dalam jangka pendek sulit terealisasi. Kalaupun ada investasi hanya jangka panjang utamanya pada sektor berbasis sumber daya alam maupun infrastruktur, karena tingkat pengembalian investasi (return) tidak tergantung gejolak sesaat.

Sama halnya pada investasi portofolio diperkirakan masih tertekan seiring sentimen negatif terpuruknya bursa saham dan nilai tukar mata uang dalam negeri dalam enam bulan terakhir tahun 2008.

"Dalam jangka panjang investasi portofolio menjanjikan, namun jangka pendek sulit diharapkan karena investor masih ketakutan gejolak pasar ekuitas di pasar modal," ujarnya.

Secara keseluruhan pada diutarakan Aviliani, tahun ini (2008) perkembangan investasi di tanah air tergolong bagus dibanding negara lain.

Namun pada tahun 2009, investasi hanya akan digerakkan sektor infrastruktur dan pembangunan proyek-proyek yang didanai APBN.

"Investasi hanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur 2009 termasuk carry over (pengalihan) proyek tahun 2008," katanya.

Untuk itu, agar sektor infrastruktur bisa maksimal dalam mendorong pertumbuhan investasi, pemerintah harus bekerja keras terutama solusi cepat mengatasi pembebasan lahan.

"Pembebasan lahan, salah satu faktor yang sulit diselesaikan, yang mengakibatkan puluhan proyek infrastuktur tersendat," ujarnya.

Padahal, tambahnya, jika pembangunan infrastruktur pemerintah berjalan sesuai jadwal, dipastikan dapat menggerakkan ekonomi suatu wilayah, menambah lapangan pekerjaan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ia berpendapat, secara keseluruhan, situasi politik di Indonesia pada saat ini (2008) cukup bagus dibanding politik di negara lain.

"Tahun 2008, menurut sejumlah investor, cukup bagus bagi iklim investasi. Ini harus dipertahankan di tahun 2009, tidak ada gejolak politik sehingga minat investasi meningkat dan sentimen negatif dari krisis global dapat diatasi," ujarnya. [*/cms]