Senin, 16 Maret 2009

Pemerintah-Bank Rebutan Nasabah

INILAH.COM, Jakarta - Pengamat ekonomi, Aviliani mengusulkan supaya pemerintah hanya menarik dana dari SBN yang diterbitkan BI. Jadi tidak menghimpun dana langsung dari masyarakat karena akan bentrok dengan perbankan.

Akibat bank kalah bersaing menghimpun dana di masyarakat, jumlah dana bank yang diparkir di SBI menjadi Rp 250 triliun. “Jadi pemerintah cukup dengan menerbitkan Sukuk Rp 5 triliun saja,” pintanya.

Selain itu, BI juga harus memberikan batas atas pemberian suku bunga oleh perbankan. Dengan demikian perang bunga akan terkontrol di bawah batas tersebut yang mendorong kekuatan industri perbankan dan bergeraknya sektor riil.

Kalau tidak, maka komitmen bank BUMN yang akan menurunkan suku bunga 2% hanya akan dimanfaatkan bank kecil-menengah saja. Mereka akan menangkap limpahan dana yang keluar dari bank BUMN dengan menawarkan bunga di kisaran 14%. Hal ini tidak memberikan perbaikan keadaan apa pun di sektor keuangan. [inilah.com]

Kamis, 05 Maret 2009

Makanan Jadi Penyebab Inflasi, Tak Akan Lagi Deflasi


JAKARTA . Kenaikan bahan makanan pada Februari 2009 ini, diperkirakan menjadi faktor utama kenaikan inflasi. Dengan terjadinya inflasi pada bulan Februari maka kecenderungan deflasi sejak Desember 2008 hingga Januari 2009 diperkirakan terhenti. Selain kenaikan harga makanan, pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS juga menjadi alasan.

Ekonom Standart Chartered Erik Alek Soegandi memperkirakan pada Februari 2009 terjadi inflasi sebesar 0,3% (mom) atau 8,9% (yoy). “Faktor utamanya adalah kenaikan harga komoditas pangan, misalnya gula. Kenaikan itu terjadi karena adanya hambatan distribusi terutama cuaca dan infrastruktur yang rusak,” kata Erik di Jakarta, kemarin.

Ia mengatakan, komponen bahan makanan dan makanan jadi mempunyai bobot 42% dalam perhitungan inflasi. Selain kenaikan komoditas pangan, inflasi juga terjadi karena pelemahan nilai rupiah terhadap mata uang asing. Hal itu menyebabkan imported inflasi menjadi tinggi juga.

Walaupun begitu, tekanan imported inflastion tidak begitu besar karena perusahaan sudah melakukan hedge untuk pembelian bahan mentah dan kapital goods. Selain itu produk-produk ini hanya mempunyai bobot yang relatif kecil dalam perhitungan indeks harga konsumen (Consumer Price Index/CPI) dibandingkan makanan.

Senada diungkapkan oleh Kepala Ekonom PT BNI Tbk A. Tony Prasetiantono. Ia mengungkapkan, faktor musiman seperti banyaknya hujan dan banjir menjadi penyebab utama terjadinya inflasi bulan ini. Curah hujan tinggi dan banjir mempengaruhi distribusi barang yang mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat.

Tony memperkirakan pada bulan Februari 2009 bakal mengalami inflasi paling tidak sekitar 0,5% (mom). Sedang secara tahunan (yoy) laju inflasi bulan Februari 2009 ada dalam kisaran 9%. “Banjir membuat distribusi menjadi kendala, sehingga banyak bahan makanan pokok yang menjadi naik, seperti beras dan gula,” katanya.

Dengan tekanan inflasi ini, maka Tony berharap BI rate bisa dipertahankan pada level 8,25% alias tidak berubah. BI rate tetap karena kurs rupiah belum berada pada keadaan yang menggembirakan alias terus melemah di level Rp 12.000/US$.

Sementara itu Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara mengatakan tekanan inflasi pada bulan Februari terjadi karena adanya pelemahan rupiah terhadap valuta asing lain. Namun karena gejolak pelemahan pada sisi permintaan sudah terjadi, diperkirakan laju inflasi Februari masih akan cukup rendah. “Karena demand juga turun maka harusnya inflasi juga masih rendah,” ujarnya.

Data Mandiri Securitas menyebutkan, laju inflasi Februari bulanan diperkirakan mencapai 0,3% dan tahunan 8,7%. Inflasi bulanan kali ini diproyeksi tumbuh lebih rendah dari rata-rata Februari sejak 3 tahun lalu sekitar 0,62%. Ini terjadi karena efek pemotongan harga BBM bersubsidi, sedang tekanan inflasi sendiri karena kenaikan harga makanan dan emas.

Ekonomi Senior pada Institute for Development Economics and Finance [Indef] M Fadhil Hasan mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar AS menjadi faktor utama terputusnya kecenderungan deflasi selama dua bulan belakangan ini.

Ketergantungan Indonesia pada komponen impor dalam pemenuhan kebutuhan bahan-bahan pokok domestik pada saat terjadinya depresiasi rupiah telah menciptakan inflasi impor (imported inflation). “Sedang faktor-faktor lain seperti tekanan harga bahan bakar minyak maupun kebutuhan pokok relatif sudah mereda,” katanya.

Untuk itu upaya pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga nilai tukar rupiah dari ancaman depresiasi sangat diperlukan dalam menjaga target pencapaian inflasi sepanjang tahun 2009. Ia yakin asalkan pemerintah dan BI bisa memelihara stabilitas nilai tukar, mungkin akan relatif lebih gampang mengontrol laju inflasi di kisaran 5-6% setahun penuh.

Ekonom Indef yang lain Aviliani menambahkan, inflasi akibat imported inflation di saat terjadi depresiasi rupiah adalah industri makanan dan minuman. “Meski komponen BBM sudah turun, namun karena ada sektor industri makanan dan minuman yang memiliki ketergantungan pada impor, kontribusi kenaikan harganya akan cukup tinggi,” katanya. Aviliani memperkirakan laju inflasi bulan Februari kemungkinan tercapai di posisi 0,01%. (Kontan Online)

Senin, 02 Maret 2009

Aviliani: Harga BBM Tidak Perlu Diturunkan


JAKARTA - DPR memang telah mengungkapkan bahwa harga BBM memang harus diturunkan kembali menjadi Rp3.500 per liternya. Meski demikian, ternyata tidak semua pihak setuju jika harga BBM diturunkan kembali. Pengamat Ekonomi Indef Aviliani menegaskan harga BBM tidak perlu diturunkan walaupun harga minyak dunia mengalami penurunan.

"Menurut saya, harga BBM tidak usah lagi diturunkan. Sebaiknya jika memang harga minyak dunia turun, kebijakan yang dibuat pemerintah bukan untuk menurnkan harga BBM kembali," ujar Aviliani saat dihubungi okezone, Minggu (1/3/2009).

Hal ini, menurut Aviliani adalah karena jika harga BBM diturunkan kembali yang paling diuntungkan adalah masyarakat kalangan menegah ke atas. Sedangkan untuk kelas menengah ke bawah dampaknya kurang terasa.

"Misalnya, penurunan tarif transportasi, kemarin sudah turun, kalau BBM turun lagi, tarifnya tidak akan langsung turun. Jadi sebaiknya, pilihan kebijakan menganai BBM tersebut dialihkan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat," jelasnya.

Menanggapi program stimulus fiskal yang disetujui DPR sebesar Rp73,1 triliun atau lebih besar Rp2 triliun dibandingkan usulan pemerintah sebelumnya, Aviliani beranggapan bahwa tambahan tersebut belum signifikan untuk menyelesaikan masalah pengangguran.

"Dua triliun itu tidak berarti apa-apa, karena belum mampu untuk menylesaikan permasalahan," pungkasnya. (wda)